“Karyamu itu anakmu. Ketika kamu menelurkan sebuah karya artinya kamu sedang melahirkan seorang anak. Rawat karyamu baik-baik. Dan teruslah berkarya.”
Saya jadi ingat, salah satu guru Bahasa Indonesia saya sewaktu SMP pernah mengatakan demikian. Kurang lebih begitu yang beliau katakan saat itu. Tentu saja kalimat di atas tidak persis, saya belum punya inisiatif untuk merekam di hp waktu SMP (belum punya hape yang bisa ngrekam lebih tepatnya). Hehe. Tapi otak saya merekam, sampai sekarang.
Namanya Pak Haryono, seorang guru yang setahun mengajarku di kelas dan hampir tiga tahun membimbing di tim redaksi majalah sekolah “Eksis” serta buletin “INFO 3”. Dulu, ketika beliau mengatakannya, saya cuma manggut-manggut saja. Sekarang, saya merasakan susahnya melahirkan seorang ‘anak‘ tersebut. Ya, analogi anak dan karya itu rasanya tepat sekali setelah saya mengalami cerita ini.
Sudah seminggu ini, sekembalinya dari Bandung, saya jadi orang yang nyandu sama laptop dan hp. Niat awal saya mau nulis. Sayangnya, inspirasi itu tak kunjung datang. Saya nulis ngelantur, banyak tulisan yang saya hasilkan sebenarnya, tapi tidak ada yang selesai dan nasibnya berujung tragis di dalam folder “draft” di memori card. Saya tidak bisa menemukan rasa dalam tulisan itu, sehingga tidak bisa juga untuk menuliskannya sampai selesai. Huh, saya coba untuk tidak menyerah, tiap hari saya coba menulis, dan lahirlah satu karya berjudul “Lewat Seduhan Alfabet” yang saya post beberapa hari yang lalu di blog ini. Juga satu lagi yang sudah saya kirim ke ‘tempat’nya 3 menit setelah deadline. Entah diterima atau tidak. Saya tak peduli, yang penting anak itu lahir.
Nyatanya, lahirnya 2 anak itu belum membuat rasa sesak saya hilang. Mungkin, ibarat orang mau melahirkan, saya masih mengalami kontraksi karena masih ada beberapa anak saya yang tertinggal di perut. Mungkin terikat tali pusar. Mungkin terikat usus. Hehe. Apaan deh, Himsa mulai nyeracau.
Ya, begitulah. Hari-hari berikutnya juga saya habiskan untuk menulis, tapi tetap tidak ada rasa. Masih tak mau menyerah, saya mencari inspirasi dari mana-mana. Baca buku apa saja, mulai dari kitab suci sampai buku pelajaran termasuk buku pelajarannya adikku yang SD (oke ini agak lebe) karena adanya itu sih. Saya juga baca tulisan-tulisan sahabat di blog dan notes. Istilah kerennya sih blog walking. Hehe. Tapi yang ada saya keasyikan baca dan berdecak kagum karena kekerenan tulisannya, sampai saya baca berkali-kali dalam sehari. Hh, tidak mempan. Saya memang terinspirasi dari itu semua, tapi saya kesusahan membahasakannya. Tulisan saya mandeg lagi, masih tidak ada rasa.
Semacam ada yang hilang. Semacam Keenan yang tiba-tiba tidak bisa melukis tanpa Kugy (halah. Hehe. Efek Perahu Kertas ini mah).
Tapi like I’ve said before, saya masih nggak mau nyerah. Sebenernya sih udah mau nyerah, tapi apa daya, saya bahkan dilanda penyakit tidak bisa tidur setiap malamnya. Kalau orang udah mau sahur, saya baru merem. Ah, kontraksinya terlalu hebat tapi anaknya nggak mau keluar juga. 😦
Ditambah lagi, teman-teman mulai banyak yang menanyakan, “Hims, lanjutan presipitasi mana?” tetot. Serial itu bahkan sedang mati suri dan ternyata banyak yang menanyakan. Makin banyak lah anak yang ingin saya lahirkan tapi tak lahir-lahir.
Sampai tiba hari ini. Saya hampir memutuskan untuk tidak menulis. Sudah pusing. Saya malah nonton tv sejenak. Tapi tetap saja, ada resah. Saya akhirnya melakukan blog walking lagi. Sampai sore dan tiba-tiba cling. Saya harus nulis. Kalau nggak bisa menulis untuk deadline deadline itu, saya sudah bertekad mau melanjutkan presipitasi saja, walaupun sebenarnya saya sudah menulis lanjutannya berbulan-bulan yang lalu. Tapi saya tidak mau pake draft yang sudah ada, tak ada rasa. 😦
Saya pun mulai membuka laptop. Lucu sebenarnya, karena saat saya membuka aplikasi Ms. Word, di otakku tidak ada apa-apa yang ingin kutulis. Pas saya mencoba asal ngetik satu kata, muncullah adikku yang paling kecil dari balik tangga.
“Mbak, ayo mandiin.” tetot. Buyarlah semua inspirasiku. Saya mau nangis rasanya. Tapi belum sempat saya nangis, adikku sudah nangis duluan minta cepat – cepat dimandiin. Ya apa mau dikata, laptop pun kubiarkan menganga. Saya memandikan adikku. Cling. Siapa sangka, di kamar mandi, di setiap siraman air untuk adikku, inspirasi itu datang begitu saja. Inspirasi untuk sebuah deadline yang dari kemarin kutunggu. Begitu detail inspirasi tersebut, sampai alur ceritanya. Sekeluar dari kamar mandi, cling lagi, satu inspirasi lagi untuk tulisan lainnya juga muncul. Subhanallah.
Setelah mendandani adikku, cepat saya berlari menuju laptop dan mulai menulis. Baru satu halaman, adzan sudah berkumandang. Buka puasa dulu deh. Usai tarawih, semua dilanjut. Alhamdulillah satu anak lahir bersamaan dengan satu anak lainnya. Ini baru legaaaa.. Hffff..
Untuk prespitasi, meskipun belum sempat menuliskannya, saya sudah bertekad mau melanjutkannya besok, walaupun hanya satu episode tambahan. Dan, terima kasih untuk mereka yang selalu bertanya, “Hims, lanjutan presipitasi mana?” :”)
Meskipun malam ini saya merasa begitu lega, tapi saya suka perasaan semacam kontraksi itu, bikin galau dan obat galaunya adalah produktif. Hehe.
Daaaaan, alhamdulillah telah lahir anak-anak saya bernama judul-judul cerpen dan prosa, baik yang undefined, absurd, atau terkadang sok serius. Anak-anak yang lahir dengan rasa. 🙂
Pelajaran: Inspirasi itu bisa datang dari mana saja, termasuk dari hal yang tidak kita duga sama sekali. So, jangan pernah berhenti untuk mencari inspirasi itu.
Rumah,
26 Juli 2012
23.24
mbak Hims, lanjutan presipitasi mana ? *eh*
makasih sudah bertanya yaa.. biar tambah semangat 😉
semangaat mbak 😀