Cerita Fiksi

Hati yang Dipinjam

“Aku tidak menggambar apapun.” katamu padaku saat wajahku tampak merajuk, sementara bibirmu berusaha melengkungkan senyum terbaikmu untukku.

Tidak mungkin kamu tidak menggoreskan apa-apa. Aku melihat jelas ada goresan dari spidol birumu. Ya, biru. Warna yang sudah setahun ini jarang sekali ada di gambarmu.

“Rosi, untuk kali ini, aku ingin menyimpan gambarku sendiri.” Akhirnya kamu menyadari bahwa aku bukan anak kecil yang bisa kamu bohongi dengan menyembunyikan selembar kertas—yang katamu tidak ada gambarnya—di balik saku celanamu.

“Seharusnya kamu tidak perlu menyembunyikan apa-apa. Itu hanya sebuah gambar, hanya kamu yang mengerti artinya,” kataku lirih.

“Miss Rosi yang ceria, plis jangan menangis hanya karena sebuah gambar. Ini gambarnya,” kamu menyodorkann kertas itu dari saku celanamu, aku menolaknya. Kamu mungkin mengira aku merajuk bercanda. Tapi penolakanku membuatmu terkejut.

Kamu menunduk diam. Mungkin hari ini kamu harus menyadari sesuatu. Kursi kayu di depan ruang perkuliahan ini kuyakin sebal diduduki dua manusia yang tiba-tiba saling berdiam. Mungkin bukan hanya kamu, hari ini aku juga harus menyadari sesuatu.

“Warna biru,” kataku akhirnya.

“Iya, warna biru itu menenangkan.”

“Hanya itu?”

Kamu diam lagi.

Aku hari ini sudah membayangkan akan menjadi Rosi Lainnya. Bukan Rosi ceria yang kamu banggakan. Bukan Rosi yang bisa meledakkan tawamu dan tawa manusia lainnya. Bukan pula Rosi yang membuatmu bercerita. Sejak beberapa menit lalu ketika aku melihat gambar itu, aku entah kenapa sudah tidak bisa menyembunyikan sesuatu yang lama kuikat rapat. Dan kamu paham betul akan hal ini.

“Aku bertemu dengannya, enam hari yang lalu, di atas gerbong kereta. Sungguh pertemuan yang tak kusangka. Dia masih biru.

Akhirnya aku mendengarmu bercerita tentang warna itu lagi. Ah, lebih tepatnya tentang gadis itu. Aku ingat betul, setahun lalu, aku ingin tahu tentang gadis itu. Aku bahkan memberanikan diri bertanya, dan kamu, entah kenapa pula membiarkanku tahu sebagian kisahmu itu. Sejak itu, kamu banyak bercerita. Lama-lama, cerita tentang gadis itu tidak pernah kudengar lagi. Kita menjadi dekat tanpa kamu sadari. Tapi aku sungguh menyadarinya. Bahkan sejak pertama kali melihatmu berorasi di depan ribuan mahasiswa baru, aku sudah mengingatmu. Aku mengaburkan rintik-rintik yang membasahi hati saat bertemu denganmu. Aku menjadi Rosi yang ceria, yang tampak tak mengenal sesuatu bernama cinta. Kadang kekanak-kanakan, tapi menghibur banyak orang. Dan kamu, menikmati persahabatan kita. Aku menikmati diriku yang lebur dalam cerita-ceritamu. Sayangnya, kamu tidak pernah menyadari, bahwa kamu semakin menghembuskan hawa teduh yang membuatku nyaman. Sampai detik ini.

“Dia mengenakan jilbab birunya. Aku sama sekali tidak menyangka akan melihatnya. Dia juga masih ceria, sama sepertimu. Hanya saja dia tampak lebih dewasa. Ia bahkan menyapaku yang hanya kelu diberi kesempatan bertemu lagi dengannya.”

Kamu terus bercerita, seperti biasanya kamu bercerita. Aku salah, kamu masih belum memahami sesuatu itu. Aku mulai meneteskan sebulir air mata.

Hai, Rafa. Ada apa ke Bogor?” kamu menirukan sapaan perempuan yang kamu temui lagi di atas gerbong kereta itu dengan antusias.

“Harusnya aku yang tanya, bukankah gerbong itu mainan harianku kan, Ros? Tapi aku benar-benar kelu. Aku, tidak tahu kenapa bahagia sekali melihatnya lagi. Dia bersama seorang temannya, tersenyum, lalu pamit cepat saat sampai ke stasiun. Dan aku melewatkan waktu berbicara dengannya. Semua terasa kaku.” Kamu melanjutkan ceritamu tanpa menolehku.

Aku diam.

“Sampai empat tahun ini, bahkan di tahun ini kita jarang sekali berkomunikasi, perasaanku sungguh masih ekuivalen.”

Aku mulai menyeka air mataku. Kamu menoleh.

“Ros? Kamu sebegitu terharunyakah dengan kisah pertemuanku ini?”

Aku tersenyum, “ada apa dia ke Bogor?”

“Ke rumah seorang kakaknya. Aku ingin menemuinya lagi.”

Aku tidak bisa lagi menahan bulir-bulir bening, perasaan ini melepuh dan mencairkan isi lakrimalku yang lama tidak mencair.

“Ros?”

“Aku pikir tentang biru sudah menguap dari ingatanmu. Aku pikir kedekatanmu dengan kita adalah isyarat bahwa kamu tak lagi menaruh harap padanya. Aku pikir, canda dan ceritamu adalah pemberian dari hatimu. Aku salah..” aku menangis. Kamu diam, aku tahu kamu terkejut. Seseorang yang kamu percaya menjadi teman ceritamu, menyimpan harap yang besar padamu. Dan salahku lagi, aku mengira mengalirnya cerita itu adalah sebuah pemberian.

“Ros?” kamu tidak bisa berkata apa-apa selain memanggil namaku. Aku terlalu menikmati cerita-ceritamu, menerima teduh yang sebenarnya hanya kamu pinjamkan. Dan hari ini aku seperti diberi tanda peringatan bahwa apa yang kupinjam harus segera kukembalikan pada pemilik sebenarnya. Walaupun aku tidak ingin mengembalikannya.

“Ros?” panggilmu lagi. Kemudian berjalan pergi membelakangiku yang masih terduduk.

***

Aku juga ikut menangis membaca sebuah tulisannya yang tertinggal di map yang kamu berikan padaku hari ini. Dia salah. Aku bukan pemilik, aku pada hakikatnya juga sama dengannya, tak tahu sampai kapan teduh itu menjadi milikku. Bedanya, dia meminjam padamu (sesuai yang dikatakannya), dan aku justru kautitipi. Aku menjaganya, masih. Tapi teduh yang kamu miliki itu milik-Nya, sampai kamu memberikannya dengan sebuah tanda tangan di atas buku suci. Bedanya lagi, dia tidak ingin mengembalikan teduh yang katanya tadi hanya ia pinjam, sedang aku menyerahkan padamu siapa yang akan kauberi teduh itu.

Aku ingin mengenalnya, menangis bersamanya, entah.

 

Pojok Biru 2,

Cerita ini mungkin belum selesai

28 Oktober 2012

21.56

Advertisement

2 thoughts on “Hati yang Dipinjam”

bagaimana menurutmu? :)

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s