
Bukan aku.
Bukan begitu? Ah, kamu bahkan berpura-pura tidak tahu. Bukankah seperti itu cara kerja rindu: diam-diam, lalu angin mengalirkannya ke dalam sanubari Sang Pemilik Rindu. Dan aku tahu, bukan aku pemilik sanubari itu. Ya, aku tahu dalam ketidaktahuanku. Rindu diam-diam itu senantiasa dialirkan angin secara perlahan, sedang aku hanya menyaksikannya lewat. Sementara rinduku pun meronta mengejar laju angin. Tak mampu.
Seperti malam ini, buku maya milikmu kembali menggoreskan lagi cerita-cerita birumu yang penuh metafora itu. Tentang angin yang lagi-lagi kausebut sebagai sahabat terbaikmu. Tentang air matamu yang kubaca dari baris-baris hurufmu. Tentang rindumu yang masih menyimpan sendu. Ah, kamu tidak tahu, di sini ada tentang aku yang diam-diam mengamati setiap sendumu, yang ingin sekadar mengatakan “Hei, jangan sedih, aku punya ratusan puisi balasan untuk setiap surat yang kautitipkan pada angin”, tapi tak pernah mampu. Bagaimana bisa? Bukan aku. Maka menyeduh kopi, menelan kembali semua puisi yang tercurah, adalah pilihan yang lagi-lagi kulakukan. Mungkin akan selamanya begitu, kalau saja malam ini kamu tidak menyebut namaku dalam akun twitter yang kamu punya.
Ah, agaknya aku berlebihan. Hanya sebuah retweet darimu, ditambah sebuah emoticon. Tapi bukankah sebuah retweet berarti sebentuk pengertian?
@yunamodry: :’) RT @katagilang: Mengapa langit selalu biru walau gelap malam membuatnya hitam? Kadang laut hanya cemburu.
Aku menyeduh kopi panasku lagi, ampasnya mengendap di cangkir putihku. Seperti pertanyaan-pertanyaan yang hanya mampu mengendap di lobus frontal cerebrum-ku. Apa kamu sekadar membaca, mengerti, atau menyadari sesuatu dari tweet tersebut? Ah, atau hanya karena aku menyebut kata “biru”, warna yang amat kausukai itu? Aku ingat betul, dalam setiap keceriaan yang kautawarkan di dunia nyata maupun maya, warna biru tak pernah lepas dari semua ceritamu, bahkan juga kesedihanmu.
Kopi panasku sudah tak lagi panas, sudah habis lebih tepatnya. Sementara aku masih mematung memandangi layar PC Tabletku. Kupilih tombol reply. Barangkali sudah saatnya berbicara denganmu.
Kenapa @yunamodry ? tahu jawabannya?
Tanpa kusangka, kamu membalasnya lebih cepat dari yang kukira.
@katagilang karena birunya laut sebenarnya hanyalah pantulan dari birunya langit. Ia bening 🙂
Aku mengusap layar PC Tablet-ku. Menutup aplikasi twitter. Memilih untuk sejenak menutup mata. Esok hari, setidaknya kita akan bertemu. Walau aku tahu, tak ada yang perlu diharapkan dari setiap pertemuan kita seminggu sekali di organisasi yang katamu duniamu ini. Komunitas Pena Langit. Komunitas yang kamu dirikan bersamaku tiga tahun lalu, di awal pertemuan kita di kampus berlogo biru ini. Walaupun demikian, besok, harusnya pertemuan yang berbeda, bukankah sudah dua bulan aku menghilang dari kolong langit, markas kita?
***
Time runs faster than memories. Aku menemukannya di folder yang kuberi nama “biru”.
Agustus, 2010
Ini awal yang mengagetkan. Aku bertemu dengannya, gadis yang enam bulan ini cerita-ceritanya kubaca. Gadis yang enam bulan ini banyak kuajak diskusi di ruang chatting facebook. Ini kejutan, kita satu kampus. Sayang, gadis itu jatuh pingsan. Tadi, aku berjanji tak akan memaafkan siapapun senior yang memarahinya itu. Tapi entahlah, sekarang aku ingin berterima kasih pada senior itu. Setidaknya, karena ia pingsan di acara orientasi mahasiswa baru ini, aku jadi tahu ternyata kita dipertemukan dalam kampus yang sama.
“Yuna, ini Gilang. Kamu ingat?”
Dia tersenyum.
“Ya, tentu saja. Aku Yuna Modry. Kamu tahu Modry? Modry itu biru, berasal dari bahasa Slovakia. Google translate yang memberi tahu.”
Dia tertawa, sama sekali tak tampak seperti orang yang baru terbangun dari pingsan. Hari itu, aku bisa membaca karakternya.
Satu bulan berlalu setelah masa orientasi.
September 2010
Hari-hari berlalu, aku tahu menulis adalah bagian hidupnya. Pelan-pelan, ruang diskusi kita bukan ruang maya lagi. Di kantin, di koridor, di lobi, bahkan parkiran pun, dia akan membicarakan novel-novel koleksi terbarunya. Lalu ide itu muncul, Komunitas Pena Langit. Kami mengumpulkan para pecinta pena di kampus ini untuk berbagi bersama. Tak perlu kujelaskan lagi mengapa nama “langit” yang ia pilih.
Hari-hari semakin berlalu, dia tetap sama, menakjubkan. Hanya saja, sepertinya aku tak pernah berkesempatan menjadi langit. Ia seperti bulan. Dan aku, entah siapanya.
***
Ini pertemuanku denganmu lagi setelah dua bulan aku berpetualang di negeri Sakura. Kamu tidak juga berubah. Tidak juga bersikap berlebihan padaku layaknya sahabat yang menyambut kepulangan sahabatnya setelah dua bulan pergi. Ah, aku salah, kamu berubah.
“Selamat datang lagi di kolong langit.” hanya itu yang kauucapkan. Datar. Tidak juga menyerbu oleh-oleh seperti biasanya ketika teman-teman lain ada yang pulang dari luar negeri. Begitu juga ketika Reza, Rama, Siena, Ardi, Fiera, dan teman-teman lain datang. Kamu terseyum sedikit, itu pun tampak sekali terpaksa. Sebenarnya aku tak perlu banyak penjelasan, buku mayamu dengan sederet metaforanya sudah menceritakan semua kesedihan yang terlukis di wajahmu.
“Langitnya hujan lagi ya, Yuna?” tanyaku pelan-pelan di sela-sela lamunanmu.
Kamu menggeleng.
“Langit akan selalu biru, Lang. Tak peduli hujan, ia sejatinya biru.”
“Laut juga biru, Yun.”
“Tidak, ia bening. Ia hanya pantulan dari birunya langit.”
“Tapi ia setia. Langit punya teramat banyak bintang. Seringkali juga menurunkan hujan yang katamu menyakitkan itu.”
Kamu masih tersenyum, “Sudah kubilang, Gilang, langit akan selalu biru.”
“Setidaknya kalau bulan sedih oleh langit, bolehlah ia tersenyum menatap laut yang melukis wajahnya dengan sangat indah di malam hari. Bukan begitu?”
“Iya. Laut emang keren, Lang. Kalau mau, dia sudah indah dengan warna bening yang ia punya, tapi ia selalu setia menerima pantulan cahaya langit, menjadi biru. Lalu melukis wajah bulan dengan sangat indahnya. Hanya lukisannya. Laut tak pernah meminta apa-apa. Sementara bulan tak pernah berpijak dari birunya langit. Apapun yang terjadi pada langit.”
Kali ini aku yang tersenyum, kurasakan betul kalimat demi kalimat yang kaukatakan.
“Bulan harus berterima kasih pada laut. Sebenar-benar terima kasih. Laut adalah simbol ketulusan. Ya, mungkin hanya terima kasih yang bisa bulan berikan untuk laut. Terima kasih sudah memantulkan biru langit, terima kasih sudah menjadi muara setiap aliran hujan yang diturunkan langit, terima kasih sudah melukis wajah bulan dengan sangat indahnya”, lanjutmu.
Aku menghela nafas, kamu masih saja bermetafora. Siapapun langit yang kaumaksud dan bagaimanapun ia melukis hujan di pipimu, aku tahu kamu begitu kuat. Sekarang aku mengerti mengapa “langit” menjadi diksi yang amat kausukai dalam cerita-ceritamu. Dan aku, mungkin aku laut itu. Walau sebenarnya aku tak suka. Kalau kauizinkan aku untuk memilih, aku akan memilih untuk menjadi langit. Yang katamu birunya adalah kesejatian. Tapi tak apa, setidaknya kamu mengerti ketulusan laut dan cerita birunya.
Selamat berpetualang Yuna Modry. Teruslah membiru seperti namamu. Aku akan tetap seperti ini, mengamati laju angin yang membawa setiap rindumu pada langit. Menelan rindu yang kupunya bersama kopi panas yang mengendapkan cerita magis. Berbisik pelan-pelan, “Jangan bersedih, Modry. Aku punya ratusan puisi balasan untuk menghalau sedihmu.” Kalau saja aku punya kesempatan, aku tak akan berhenti berjuang, mencari kesejatian biru yang ingin kaupunya.
Pojok Biru 2,
1 April 2013
01.14 waktu bagian senyum
Terima kasih untuk setiap ketulusan yang begitu saja mengalir bersama ombakmu, Laut. Terima kasih. Itu mengharukan. Sungguh.