Di tengah serunya diskusi dengan Rhein Fathia di Nulis Buku Club kemarin (13/ 7), aku memberanikan diri mengajukan pertanyaan tentang sesuatu yang paling sering menggangguku dalam proses menulis.
“Dalam setiap proses menulis, saya yakin, selalu saja ada kenangan atau masa lalu yang menjadi inspirasi. Nah masalahnya, ketika hendak menuliskan cerita itu, rasanya ada setrum yang bikin lemes gitu. Walaupun sudah berdamai dan memaafkan masa lalu, tetap saja mengingatnya itu seperti membuka ingatan menyakitkan. Bagaimana caranya tetap menulis suatu kisah masa lalu yang menyakitkan dengan kendala-kendala seperti itu?”, tanyaku panjang lebar.
Teh Rhein menjawab dengan ‘pedas’ namun sangat kusukai.
“Memangnya kalau mengingat masa lalu kenapa? Bikin sakit hati lagi? Aduh, kita menulis ya menulis saja. Toh kita menengok masa lalu bukan untuk kembali ke sana, kita menulisnya untuk mengambil pelajaran. Move on!”.
Aku tersenyum. Iya sih, kalau kita sudah benar-benar berdamai dengan masa lalu, mau diingat seperti apapun tetap saja indah. Mengapa? Karena kita mengingatnya untuk mengambil pelajaran darinya.
Pojok Biru 2
14 Juli 2013
19.24 WHH
reblog yaa 🙂
Siip 🙂
Reblogged this on fratih.
“masa lalu bukan untuk dilupakan, tapi untuk diambil pelajaran” :), kata siapa ya, lupa. =).
Semangat dan salam menulis kaka….
Yaap.. Salam semangat 🙂