“Aku kesusahan menulis.”
“Ha? Kenapa? Kau kehilangan inspirasi?”
Kamu menggeleng. Aku tahu persis kepergianku tak berpengaruh banyak bagimu. Sudah pernah kubilang, kamu itu biru bahkan ketika tanpaku. Tapi kenapa kamu tetiba kesulitan menulis? Hei, bukankah menulis itu duniamu?
“Kamu kenapa? Maafkan aku karena memilih pergi.”
Kamu diam saja.
“Kamu sungguh tidak kehilangan inspirasi kan?”
“Kamu berlebihan..” akhirnya kamu bicara.
“Maksudnya?”
“Aku sudah bilang dengan tulus dan jujur. Ini semua bukan karena kepergianmu. Aku sudah bilang kan? Aku bahagia dengan itu. Juga bukan soal inspirasi yang hilang. Dunia ini milik Tuhan. Inspirasi itu milik-Nya bukan milikmu, jadi tak ada hubungannya sekali pun kamu memilih pergi. Begini jauh lebih baik.”
“Baiklah. Lalu kenapa kamu sulit menulis?”
Kamu tertawa lagi, “aku berhenti menulis karena terlalu banyak melamun.”
Kali ini aku memilih diam, menunggu kalimat selanjutnya darimu.
“Aku melamunkan ke mana huruf-huruf ini berhenti. Bagaimana huruf-huruf ini diurai. Apakah maknanya senada dengan maksudku? Aku bertanya banyak hal. Aku takut. Hidup ini teramat singkat. Aku bertanya apakah aku masih menulis dari hati untuk hati? Apa aku masih menulis untuk berbagi inspirasi atau sekadar bercerita tentangmu? Dan yang paling penting: aku menulis untuk siapa? Jika muara ini bukanlah Sang Maha Pemilik Huruf, lalu untuk apa aku menulis? Sebab itu aku memilih diam. Aku perlu waktu beberapa saat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.”
Aku tersenyum. Bukankah kamu sudah mampu menjawabnya? Tulisan ini buktinya. Aku rindu kamu yang keras kepala seperti itu. Aku rindu kamu yang tidak rapuh olehku. Aku rindu kamu yang seperti itu. Kamu yang mampu menertawakan makhluk-makhluk sepertiku.
“Sekarang bagaimana? Kamu sudah bisa menulis lagi? Kudengar kamu punya banyak inspirasi yang ingin kaubagi.”
Kamu mengangguk tersenyum. Wajahmu tegas tanpa pretensi. Wajah itu bertahun-tahun hilang sejak aku menjadi raja di tahta hatimu.
Pyaaar. Kamu akhirnya memecahkanku. Dan kamu membersihkan serpihanku dengan hati-hati. Tak ada lagi wajah sedihmu memantul di diriku. Tak ada lagi air matamu menetes di bening tubuhku. Ini serpihan terakhir tubuhku yang akan kamu bungkus. Kyaaa semakin gelap. Kata mereka, kamu membungkus diriku dan menyerahkan pada Sang Pembolak-balik Diriku. Baiklah. Salam, namaku perasaan, yang menjelma dalam bening kaca tempat dirimu biasa bercermin. Kyaa, gelap. Kamu benar-benar sudah membungkusku dengan baik. Terima kasih. Teruslah menebar huruf karena-Nya.
Rumah
28 Juli 2013
22.56
Inspired by a mirror
Semoga tidak salah memaknai yaa ^^
~ azaleav
“Pyaar”-nya itu cinta dalam hindi atau hanya kata untuk melambangkan suara sesuatu yang tumpah? 😀 Ambigu selalu bisa menipu.
Tulisan ini bahasa indonesia. Jd sudah tahu kan arahnya ke mana? 🙂