Cerita Fiksi, perempuan

PHPMyStory

berharap

“Kamu serius memutuskan untuk datang, Zi?”

Perempuan berjilbab biru muda di depanku ini tersenyum tanpa beban. Seakan memang begitulah seharusnya ia bersikap. Ia mengaduk hot chocolate yang baru saja kuseduh. Menyeruputnya pelan-pelan.

“Kalau nggak dateng ngapain bawa baju bagus gini dan sampai bela-belain ke Bandung, Sa. Maaf ya numpang di rumahmu. Hehe.” Ia meletakkan cangkir putih yang isinya kini tinggal tiga per empat dari sebelumnya.

“Kamu serius?” aku masih tidak percaya.

“Sekilo bukan lagi serius.” jawabnya santai.

“Oke. Oke.” Aku masih bingung, “kamu mandi aja dulu deh. Aku khawatir perjalanan kereta Jogja-Bandung seharian tadi bikin kamu nggak waras. Ada air hangat di termos, pakai aja.”

Dia malah memelukku bahagia lalu beranjak mengambil handuk menuju kamar mandi. Aku masih tidak mengerti dengan sikapnya itu. Bukankah baru dua bulan lalu dia sama memelukku seperti tadi? Berbahagia atas sesuatu. Tapi bukankah harusnya hari ini berbeda. Bukankah harusnya hari ini dia kecewa? Tapi nyatanya dia sama bahagianya. Aku masih tak mengerti.

Sambil terus berada dalam rasa tak mengerti, aku menyiapkan makan malam sementara Xizi masih menyelesaikan mandinya. Ini bukan kali pertama ia menginap di rumahku. Setiap kali bertandang ke Bandung, Xizi selalu menginap di rumahku. Mengenang masa-masa kuliah katanya. Kami dulu memang bersahabat dekat. Aku asli Bandung dan Xizi asli Jogja. Kita baru saja menjadi sarjana delapan bulan lalu. Xizi memutuskan untuk kembali ke Jogja setelah ia diterima menjadi editor di salah satu perusahaan penerbitan di sana. Sementara aku meneruskan bisnisku berjualan baju-baju muslimah di Bandung.

“Masak apa kali ini, Sa? Kamu kayanya udah siap banget jadi istri ya. Ihii. Ups lupa, dua bulan lagi udah jadi istri orang ya?” ledek Xizi tiba-tiba sekeluar dari kamar mandi. Ia buru-buru mengenakan jilbab kaosnya yang juga berwarna biru.

“Makanan kesukaan kamu.” Aku tak menghiraukan ledekannya.

“Seblak?” dia terkejut senang.

“Seblak telur makaroni pedas banget.”

Dia memelukku lagi, “iyaaa cita-citaku buat buka cabang seblak di Jogja belum kesampaian nih. Hehe.”

“Iyaaa. Tapi jangan pedas dulu ya kali ini. Kasihan perut kamu baru balik dari perjalanan jauh. Ntar sakit nggak jadi dateng lagi besok.”

“Woo. Harus jadilah.”

“Yang ngundang kamu dia sendiri kan?” kataku sambil meletakkan semangkuk seblak telur makaroni di meja makan. Xizi menyambutnya antusias.

“Hari gini gitu, Sa. Di grup FB aja dia nyebar undangan kan?”

“Kamu bela-belain dateng dari Jogja padahal diundang secara personal aja nggak?”

“Santai, Bu. Kemarin dia nge-whatsapp foto undangannya ke whatsapp-ku kok. Personal.” Dia menyuapkan sesendok seblak ke mulutnya sambil tersenyum “Yuummmy”.

“Aku sebel sama laki-laki PHP macam dia.” celetukku, dari tadi tertahan.

Dia tersedak, “uhuk.. Siapa yang PHP? Bang Aqil nggak pernah PHP ke siapa-siapa deh.”

“Zi? Please. Beberapa bulan ini dia ngedeketin kamu. Ngasih harapan. Enak aja besok udah nikah sama orang lain. Bohong kalau kamu nggak kecewa.”

Dia meletakkan sendoknya, “Iya, aku emang kecewa, Sa. Tapi Bang Aqil nggak salah juga kan? Udah cukup lah masa-masa galauku. Lagian, aku udah pernah sakit hati jauh lebih dari ini kan? Setidaknya Bang Aqil memang tidak pernah menjanjikan apa-apa, Sa.”

“Gimana sih, Zi? Aku nggak paham sama jalan pikiran kamu. Kamu sadar nggak sih? Bang Aqil baik banget sama kamu. Dia bantuin kamu kapanpun dia bisa. Dia selalu ngasih kamu semangat.”

“Iya, terus?”

“Hei, kamu nggak inget pas kamu sakit gara-gara pakai adegan nggak doyan makan setelah patah hati nggak jelas itu? Dia yang bela-belain nyari mobil buat nganter kamu ke rumah sakit. Aku masih inget banget, Zi. Wajah dia pucet banget saat itu. Dia khawatir banget.”

Xizi tersenyum, sambil terus menyuapkan seblak ke mulutnya.

“Zi? Aku bahkan inget banget, dia juga kan yang ngatur semua persiapan launching bukumu. He’s everywhere you need, Dear. Nggak mungkin dia nggak ada perasaan apa-apa sama kamu. Hei, pas wisuda, dia juga datang kan?” lanjutku.

“Dia nggak datang untuk aku doang kan, Sa? Hei, sepupunya bahkan sekelas sama kita, kamu lupa?”

“Oke, tapi inget kan semua tulisan dia di blog? Itu semua mengarah ke kamu.”

Kali ini Xizi meletakkan sendoknya, ia menghela nafas sebentar. “Iya, Sa. Tapi buat apa diingat-ingat? Toh nyatanya dia ngelamar perempuan lain kan bukan aku? Itu artinya emang bukan aku yang ada di hatinya, Sa. Bukan aku juga yang ditulis di blognya.”

“Padahal aku berharap banget kamu jadi sama dia, Zi. Aku pikir dia selama ini nggak pernah nyatain perasaan ke kamu karena dia menunggu waktu yang tepat untuk datang langsung ke orang tua kamu. Fiuh, nyatanya PHP, pemberi harapan palsu. Aah, sama aja dia kayak mantan kamu.”

“Hei, kenapa bawa-bawa mantan, Sista? Itu cukup sudah jadi pelajaran buat aku. Sekali saja. Dan itu rahasia kenapa aku bisa tersenyum hari ini. Karena aku belajar dari masa-masa itu. Ya nggak lucu dong kalau aku nggak doyan makan lagi dua hari hanya karena patah hati? Makanya, nggak usah punya mantan lah kalau emang belum punya.”

“Siapa juga yang mau punya mantan, Zi?”

“Ya intinya, nggak usah main hati. Dibuka aja sekali di saat yang tepat.”

“Kapan?”

“Apa yang lebih indah dari perjanjian di hadapan Tuhan?”

“Baiklah. Tapi itu semua nggak pernah mudah, Zi.” Aku masih tak percaya konsep Xizi. Walaupun aku sebenarnya jauh lebih beruntung dari dia—tak punya mantan—aku masih memahami bagaimana rapuhnya seorang wanita.

 “Perluas hati kita, jangan sampai penuh oleh harapan, merasa di-PHP-in kan? Padahal bisa jadi hati kita yang terlalu sempit. Saking sempitnya, interpretasi kita atas sikap baik seseorang jadi berlebihan. Padahal belum tentu kan?”

Kali ini aku yang diam, mencoba memahami jalan pikiran Xizi.

“Sa, kata Bang Tere, orang ambil handuk belum tentu mau mandi, orang ambil piring belum tentu mau makan, apalagi orang perhatian dan baik sama kita, belum tentu pula dia suka sama kita. Aku sepakat. Aku tahu mungkin konsepku ini tidak akan disukai oleh para wanita, karena kebanyakan kaum kita memang menyalahkan kaum lelaki untuk urusan macam PHP. Tapi bukankah ada yang lebih penting dari menyalahkan? Waspada. Kenapa kita tidak fokus pada kekuatan kita? Kenapa kita fokus pada stereotip bahwa perempuan itu makhluk lemah dan gampang rapuh oleh gombalan atau tebaran harapan dari lelaki? Kita harus terjang itu, Sa. Kita perempuan kuat yang punya hati yang luas dan benteng diri yang tangguh. Jadi, mau amunisi PHP berapa kali juga nggak ngaruh.”

Aku duduk diam mendengarkan kalimatnya, meluaskan hati. Setidaknya itu konsep yang dia tawarkan. Aku bisa menerima sekarang, sedikit, walaupun sejujurnya aku adalah pembenci laki-laki PHP. Bagiku, tetap saja mereka harusnya tahu bahwa perempuan itu makhluk yang sensitif.

“Zi, boleh aku tanya sesuatu?” suaraku akhirnya memecah beberapa detik suasana sunyi yang terjadi di ruang makan ini.

Xizi mengangguk.

“Bagaimana perasaan kamu ke Bang Aqil? Apa benar kamu mencintainya?” tanyaku, hati-hati.

“Siapa yang tidak jatuh cinta, Sa. Nih bayangin ya, ada seseorang yang pernah kamu deskripsikan dalam impianmu, begitu baik kepadamu. Dia datang di saat kamu benar-benar terpuruk oleh sesuatu. Dia memberimu semangat, mengajakmu untuk lari dari semua kesedihan. Bagaimana aku tidak jatuh cinta?”

“Bagaimana bisa kamu tidak sakit hati atau kecewa?”

“Aku kecewa, Sa. Tapi hatiku lebih luas dari rasa kecewa itu. Karena itulah aku bisa menerima.”

“Aku sepakat kali ini, Zi. Aku masih percaya lho rumus yang kita buat jaman kuliah dulu?”

“Apa?”

“Hilang + ikhlas = kembali. Entah dengan bentuk yang sama atau bahkan lebih baik.”

Dia berdiri, memelukku keras sekali, “makasiiih telah mengingatkanku pada rumus itu, Sasaku sayaaaang.”

“Hoiii, lepasiin.” Berontakku.

“Tidur yuuk, besok biar nggak telat ikut ngedoain Bang Aqil pas ijab Kabul.”

***

Dua tahun setelah pernikahan Bang Aqil. Tak ada Xizi yang menangis diam-diam. Aku tahu dia sebenarnya tidak sekuat yang dia katakan. Aku tahu persis. Tapi dia selalu berupaya untuk lebih kuat dari yang ia katakan. Ia selalu berusaha meluaskan hatinya. Entah dengan cara apa.

“Berdoa, Sa. Berdoa. Sabar itu tidak diam. Banyak kan yang bisa dilakukan selain meratapi kekecewaan?” katanya suatu ketika.

Ah, Xizi. Walaupun kubilang aku beruntung karena tak punya mantan, dia—menurutku—sebenarnya jauh lebih beruntung. Dia pandai sekali belajar dari kesalahannya. Tiga tahun yang lalu, dia memilih pergi dari seseorang yang sebenarnya sangat dia harapkan. Namanya Azra. Kasusnya sama. PHP. Azra tiba-tiba mengakui bahwa ada seorang perempuan lain yang membuatnya tak mampu menolak setelah berbagai janji yang ia jejakkan di hati Xizi. Aih, aku sempat membenci Azra saat itu. Tapi Xizi tak pernah. Ia memaafkannya pelan-pelan walaupun hatinya tak karuan hancurnya. Ia saat itu bilang padaku, “kalau Azra memang buat aku, dia pasti kembali kok. Entah bagaimana cara Tuhan mengatur.”

“Azra masih menunggu kamu, Zi. Kamu cuma perlu menyadarkannya bahwa yang ada di hatinya itu kamu, bukan perempuan yang baru dikenalnya itu.” Saat itu aku yang marah.

“Melepaskan itu lebih baik, Sa. Aku percaya hakikat cinta itu melepaskan. Tuhan mau memberi yang lebih baik. Tuhan yang akan menyadarkannya. Hei, hilang plus ikhlas sama dengan kembali kan?”

Benar, Tuhan lalu menghadiahinya lelaki baik. Ia memang tak menjanjikan apa-apa pada Xizi. Tapi sikapnya sudah berbicara semua bukan? Aih, ternyata Tuhan belum puas menguji keikhlasan hati Xizi. Lelaki baik itu tiba-tiba menikah dengan seorang perempuan yang katanya cinta diam-diamnya. Xiziku entah bagaimana bisa bertahan dengan semua itu.

Hari ini, dua tahun setelah hari bahagia Bang Aqil yang menyakitkan itu, aku melihat Xizi duduk bahagia di pelaminan. Paras cantiknya merah merona. Aku hampir meneteskan air mata menyaksikan semua keajaiban Tuhan berbicara di sana. Lihatlah, Tuhan benar-benar menyadarkannya. Lelaki yang ia cintai bertahun-tahun, yang pernah begitu ia harapkan, baru saja mengucap janji suci untuknya.

Aku tersenyum sambil memperbaiki gendongan putri kecilku. Suamiku mengajakku melangkah menuju kursi bahagia Xizi. Kami tersenyum bersama. Aku sendiri menatap laki-laki di samping Xizi dengan sedikit tatapan galak. Ia tersenyum menjawab tatapan galakku, lalu berbisik pelan, “Sasa, demi apapun aku tak akan membiarkannya sakit hati seperti saat itu. Kamu tenang saja.”

End

Ruang Move Up

12 Oktober 2013

7.29

picture from this

just inspired from so many real stories.

Ditulis untukmu, perempuan-perempuan hebat. Kamu dicipta bukan untuk terperdaya, karena sesungguhnya kamu mempunyai kendali sendiri atas dirimu. Lalu kamu pilih mana? Pasrah, terperdaya dalam kemenyerahan? Atau menjadi luar biasa dengan kekuatan dan benteng dirimu yang tangguh?

Advertisement

10 thoughts on “PHPMyStory”

  1. keren mbak Aza….
    sangar
    sangat menginspirasi.

    sebenarnya PHP tak selamanya berdampak negativ dan menyedihkan. dan sebenarnya tanpa PHP, aku mungkin tidak bisa belajar dan memahami makna kata “Menahan” 😀

    Terimakasih mbak Aza 😀
    Terus berkarya dan menginspirasi mbak. 😀

bagaimana menurutmu? :)

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s