Tidak ada yang meragukan keceriaanmu. Bahkan aku yakin tak ada yang mampu menemukan fotomu tanpa gigimu berjajar rapi. Ciri khas senyummu. Rambutmu yang pendek gaya “dora” atau yang kadang-kadang dikuncir dua adalah ciri khas kepolosanmu. Aku sering membenak dalam hati apa yang kaukuncir dari rambut yang sangat pendek itu? Belum lagi buku-buku tebalmu, mengapa kaubawa setiap hari di sekolah? Aku kadang mengasihani tubuh kurusmu yang harus memikul beban buku-buku itu. Tapi itulah kamu. Bukan culun. Kamu hanya sedikit ‘berbeda’ dari yang lain.
Entahlah. Aku baru menyadari bahwa aku masih bisa mendeskripsikanmu dengan jelas setelah empat tahun waktu seakan menelan cerita. Ah, bukan menelan. Rasanya masih tersedak di tenggorokan. Apa kabarmu? Apakah kamu juga tersedak?
Waktu oh waktu. Ia terasa secepat aku mengeklik folder-folder ini. Cepat sekali berpindah. Kadang aku berpikir untuk mendiamkan waktu sebagaimana aku mendiamkan folder berjudul “high school bali” di layar laptopku. Ah aku lupa kalau manusia tak boleh berandai. Tapi lihatlah. Betapa konyolnya dirimu. Dengan rambutmu yang kali ini kaukuncir satu, dengan asyiknya bermain pasir. Benar-benar tak peduli ketika teman-teman yang lain sibuk memecah ombak atau bernarsis ria. Aku ingat sekali, aku yang saat itu menjadi PJ dokumentasi kelas, sengaja mengambil gambarmu dari jauh. Kamu tengah tertawa puas karena istana pasirmu telah terbangun. Sementara siluet senja menjadi latar yang syahdu. Ingatkah kau? Saat itu kita masih enam belas. Masih kelas XI. Saat pertama kali kau mengenalku sebagai laki-laki pintar yang dingin dan susah berbicara (apalagi sama perempuan)–seperti kebanyakan orang menilai. Ah, aku pun tertawa mengingatnya. Aku hanya tak mengerti cara menjadi cair sepertimu.
Bali. Ya, di sanalah. Ketika cakrawala mencium bibir pantai, saat itulah aku menyadari cepat atau lambat kau pun akan mencairkanku. Aku lupa bagaimana mekanismenya. Sampai masa SMA berakhir, tak ada seharipun kulewati tanpa pesan singkatmu ada di handphoneku. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya kurasakan. Begitu saja. Aku senang berbagi kekonyolan denganmu. Kututup folder itu. Teringat pada niatku mencari salah satu makalah biologi yang pernah kubuat ketika kelas XII tentang bakteri baik dalam tubuh. Aku membutuhkannya untuk mencari data terkait penelitianku. Dan aku malah menemukanmu.
“Bro, udah ketemu filenya? Jangan lupa besok kamu ke rumah sakit jam 07.00. Dokter Harfi mau diskusi sama kamu.” Sapa Reza menyadarkanku bahwa sekarang aku sedang menjalani koas. Sekaligus mengingatkanku bahwa kamupun sekarang sudah berubah.
Tak ada lagi rambut dora. Sudah kaututup rapi dengan jilbab anggunmu. Jika kuamati dari sosial mediamu, kamu pun masih ceria seperti dulu. Hanya saja cara pikirmu mendewasa.
“Fiz? Bisa kan?”
“Eh, yoi bisa.” Aku pun tiba-tiba teringat kamu ingin memiliki suami seorang dokter. Masihkah sama? Empat tahun. Aku sudah berubah. Aku sudah mengerti cara menjadi cair. Tentu saja. Yang aku tak mengerti adalah mengapa aku tiba-tiba memikirkanmu? Sementara tahun berlalu dengan berbagai penelitianku, kuliah kedokteran yang cukup menyita otak, berbagai organisasi. Kenapa aku tiba-tiba merindukan gigi putihmu?
Kamu, apakah juga tersedak dengan semua kata yang kita gantung di pangkal tenggorokan kita masing-masing? Atau sudah menelannya? Menjadikan kisah ini tidak ada. Bagaimanapun, empat tahun adalah alasan yang sangat logis untukmu melupakan apa yang kita jalani–yang bahkan belum sempat menjadi kisah. Hasna, akhirnya aku mampu menyebut namamu. Setelah empat tahun tak pernah kusebut, tapi terasa dalam denyut, menjelma doa dalam sujud.
Hafiz.
28 April 2014
edited again di atas bus trans jakarta
5-5-14
19.28
(dan menulis adalah tentang menyampaikan maksud yang tersendat di tenggorokan. Udah lama nggak nyerpen yaa)
tunggu. Akan ada edisi balasan dari Hasna kalau saya tiba-tiba pingin lanjutin 😀
ditunggu lanjutannya, oh ya ini awal cerpennya dimana ya? maklum pengunjung baru. hehe 🙂
ini yg pertama kok hehe
kalau gitu, ditunggu lanjutannya 🙂
otomatis scroll ke bawah dan nyari nama tokoh utama ketika baca “…sebagai laki-laki pintar yang dingin…” #youknowwhatimean
Lanjutkan!
namanya Hafiz haahaa. :p
Aaaaaakkkkk *pingsan*
ditunggu lanjutannya.. 🙂