“Mas, aku ngerasa jadi manusia nggak bermanfaat. Dulu, aku bisa nulis banyak. Udah beberapa hari kayak mandeg. Susah banget tiap mau nulis. Padahal kalau misalnya ngobrol gini bisa menyampaikan. Tapi kok kalau mau nulis susah ya?”
Keluhku melalui telepon.
“Aku punya ide, Mas.” Lanjutku.
“Hmm, apa?”
“Bikin perjanjian ya, jangan telepon aku sampai minimal aku bisa beresin satu tulisan atau satu bab novelku.”
Aku sedikit berat mengatakannya. Untuk pasangan LDR seperti kita, itu namanya bukan hukuman untukku, tapi hukuman untuk kita berdua.
“Nggak mau, ah.” Katanya cepat menanggapi usulku.
“Iya, sih. Aku juga nggak yakin kuat kalau kita nggak ada komunikasi. Tapi kan itu justru jadi motivasi besar buat aku supaya nulis lagi. Akhirnya terpaksa aku bisa nulis.”
“Kasihan dedeknya ah ntar kangen bapaknya.” Candamu.
“Terus gimana dong?”
“Hmmm.. kamu itu nggak bisa nulis bukan karena nggak bisa. Tapi karena inspirasinya nggak ada.”
“Iya juga sih, aku kan udah lama nggak pernah ke mana-mana. Buku yang kubaca juga minim. Jadi ibarat menulis itu menuangkan isi teko, ini tekoku kosong, makanya nggak bisa menulis ya..”
“Karena tekonya di Medan sih..” candanya lagi, aku tertawa, sekaligus mengiyakan.
“Iya, inspirasinya jauh di Medan sih.”
“Jadi begini, kalau kita bikin hukuman seperti usul kamu tadi, emang bagus sih. Tapi kamu menulisnya terpaksa, nggak jujur, nggak ngalir dari hati. Ada unsur terpaksanya. Akhirnya pun pesannya berbeda ketika sampai ke pembaca. Menulislah karena memang hatimu ingin menulis dan ingin menyampaikan sesuatu. Bukan sekadar menghasilkan tulisan.”
Aku sempat terdiam. Dia selalu berbeda dalam caranya memotivasiku.
“Aku juga susah baca akhir-akhir ini, rasanya nggak tertarik gitu.” Aku masih berkilah.
“Mendingan abis ini kamu lihat rak buku. Coba baca buku The Baby Book. Moodnya lebih pas sama kondisi kamu. Siapa tahu abis itu ada inspirasinya kan?”
Lagi-lagi aku mengamini. Tapi setelah dia menutup teleponnya, aku belum sempat naik ke atas untuk menengok rak buku. Aku justru malah menulis ini. Entah, tapi setiap dia berbicara dengan caranya yang berbeda, bukan dengan paksaan, bukan dengan ancaman, tapi dengan ketulusan, maka ada ketulusan pula yang ingin kutulis. Entahlah, tapi tulisan ini hanya ingin kutulis sebagai pengingat kita bersama, bahwa ketulusan itu menular. Berbagilah dengan ikhlas. Ikhlaslah dalam berbagi. Maka jika menulis itu tentang berbagi, ketulusan dalam menulisnya adalah modal utama agar apa yang kita tulis bermanfaat.
Lalu saya teringat kalimat salah satu blogger favorit saya.
“Ciri-ciri tulisan yang jujur adalah mudah dituliskan. Selanjutnya tulisan yang jujur juga mudah diterima.”
–Mutia Prawitasari
Barangkali ide-ide saya kemarin belum sepenuhnya jujur berbicara tentang apa yang ingin saya sampaikan. Karena itu saya susah menuliskannya. Ide-ide harus disirami dengan air ketulusan, maka kalimat akan dengan mudahnya mengalir. Menulis saja. Ya menulis saja. Tanpa embel-embel ingin banyak dibaca atau dipuji. Hati kita pasti tahu mana ketulusan dan mana yang hanya sekadar kata.
Again, saya menyadari kebersamaan dan cinta yang kita bangun adalah inspirasi besar saya dalam melewati banyak hal.
Akhirnya saya bisa menulis lagi dan saya bahagia sekali setelah berhari-hari mencoba menulis tapi gagal. Dan ini adalah kebahagiaan tersendiri buat saya. Menulis itu passion, maka jika lama jemari tak bisa menghasilkan tulisan, rasanya ada jiwa yang mati dalam tubuh saya, yang meminta untuk dihidupkan.
Note:
Kenapa saya akhirnya bisa menulis walaupun hanya begini?
1. Karena saya berbagi ide dengan orang yang tepat, sehingga saya terarahkan apa yang harus saya perbuat.
2. Inspirasi itu harus dicari bukan ditunggu. Dan saya mencarinya. Saya harus memulai. Setelah menulis begini, saya biasanya mulai lancar untuk menulis yang lain-lain.
3. Bertanya pada hati tentang kejujuran. Apa sih yang sebenarnya ingin saya bagi kali ini?
4. Mulai terus memenuhi teko inspirasi dengan berbagai amunisi: meningkatkan rasa empati, bertanya, berdiskusi, baca buku, merenung, blogwalking, dan lain-lain.
Kurang lebih begitu. Bagi teman-teman yang mengalami writer’s block seperti saya, semoga bisa ambil hikmah dari tulisan ini. Selamat menulis lagi. Selamat menghidupi lagi jiwa yang lama terpendam.
Salam bahagia,
Rumah,
26 Oktober 2015
22.46 WHH
Tanpa edit. Saya hanya ingin sedang MEMULAI.
Happy Blogger Day :*
semangaats. cerita ttg ayin ajaah hehhe
Sarannya caem ih… ;). Makasiiih sudah berbagi ya mba…
Inspiratif….