Aku takut jika orang yang kusayangi pergi meninggalkanku lebih dulu.
Lalu seorang teman menyadarkanku..
Bisa jadi, kitalah yang pergi terlebih dulu. Apa yang sudah kita siapkan?
Aku takut jika esok lusa, hidupku tak berkecukupan.
Lalu sesuatu menyadarkanku.
Bisa jadi, dari dulu aku sudah selalu diberi kecukupan. Tapi aku saja yang lupa mensyukurinya.
Aku takut jika ternyata, apa yang kumau tidak menjadi kenyataan. Lalu teman kembali menyadarkanku. Tugas kita itu memohon lewat doa, tapi bagaimana hasilnya bukan kita yang berhak mengatur.
Aku takut jika ternyata, aku menghadapi sesuatu di luar kemampuanku. Lalu sebuah kajian yang kuikuti mengingatkanku. Jika kita takut tidak mampu menghadapi sesuatu, maka perbanyaklah ilmu tentang sesuatu itu. Siapkanlah bekal sebanyak mungkin sebagai usaha untuk memampukan diri.
Aku takut jika suatu hari hidupku menjadi susah karena sesuatu. Lalu sebuah tulisan yang kubaca mengingatkanku. Sesusah apapun hidup, tugas kita adalah menjalaninya dengan penuh keikhlasan. Jika kita ingat Allah dalam keadaan apapun, maka segala susah terasa indah.
Sering sekali, kita memikirkan masa depan. Sampai lupa menikmati saat ini. Sering sekali, kita menyesalkan masa lalu, sampai lupa, kebaikan yang kita alami hari ini adalah buah dari proses panjang yang kita alami di masa lalu. Semua saling berkelindan. Menjadi sebuah takdir, yang seharusnya kita terima. Kita nikmati. Kita rasakan.
Kita hidup di saat ini. Beribadah di saat ini. Memohon ampun untuk masa lalu tanpa berandai mengubah takdirnya. Menyiapkan usaha terbaik untuk masa depan tanpa menakutkan banyak hal. Kita tahu, yang sulit seringkali bukanlah usahanya. Tapi bagaimana tetap yakin pada-Nya dalam kondisi apapun, bahkan saat yang kita usahakan belum tercapai.
Seperti apa yang diceritakan dalam khutbah Idul Adha kemarin. Hajar ditinggal oleh Ibrahim suaminya. Didekapnya Ismail yang masih bayi di tengah gurun. Tidak ada air. Ia hanya berlari dan terus berlari berharap ada air di sana. Tujuh kali. Tapi tak ada juga ada air. Baginya, itulah usahanya. Selebihnya, ia hanya yakin bahwa Allah menolong siapa yang bertauhid pada-Nya. Hingga keluarlah mata air itu. Tidak jauh, melainkan di dekat kaki Ismail. Apakah usaha Hajar berlari tujuh kaki itu menjadi sia-sia? Tidak sama sekali. Karena itulah pelajaran untuk kita semua. Berlarilah. Berusahalah. Karena kita tidak tahu di titik yang mana, Allah berikan pertolongan.
Maka dari cerita itu, aku kembali menyimpulkan sebuah jawaban. Jika takut telah datang, maka bulatkanlah yakin pada-Nya. Lalu maksimalkanlah usaha sebagai upaya untuk memampukan diri. Selebihnya, mari kita nikmati saat ini, entah apapun kondisinya, sebagai suatu bagian dari proses untuk mencapai rida Allah.
Sulit? Tentu.
Menjalaninya tak semudah menuliskannya. Tentu saja. Tapi dengan menulis ini, lagi-lagi aku mengingatkan diriku sendiri, mengajak diriku berbicara, mengajak pikiranku berdiskusi, juga melawan ketakutanku.
Medan,
14 Agustus 2019
23.43