Cerita dan Celoteh, Mama Curhat, Mama Lyfe, parenting

Anak Kurus = Tidak Sehat? Hmm

Halo, masih ada pengunjungkah di blog ini? Hehehe. Himsa kembali sebagai ibu yg bentar lagi punya anak tiga. Mumpung belum brojol, dan rasanya aku pun rindu banget nulis, jadi mari kembali bercerita.

Hmm, sebenarnya aku udah lama mau nulis topik ini. Tapi ya banyak riweh ini itu akhirnya nggak jadi (baca: malas aja bilang wkwkw). Lalu habis ig live sama Teh Beb dan Teh Irma tentang passion yang stuck dan ke-trigger dengan explore ig di bawah ini, teringatlah aku tentang cerita yg udah lama ingin kubagikan ini.

Source: IG @shandyaulia

Astaghfirullah, ngeri banget ya mulut netizen. Aku nggak kebayang kalau jadi Shandy Aulia kayaknya udah naik sasak kalau kata orang Medan. Dia siapa bisa bilang begitu? Aku yakin sekelas Shandy Aulia pasti udah ke dokter spesialis, udah ngecek segala sesuatunya, nggak mungkin anaknya dibiarin gitu aja kan? Tapi ya pada akhirnya kita nggak akan bisa membungkam mulut semua orang. Karena anaknya di-expose, ya mau nggak mau, komentar pasti berdatangan. Semoga kita nggak masuk golongan netizen julid yang komentarnya begitu yaaaa..

Komentar netizen julid itu mengingatkanku pada perjuanganku menaikkan BB Kafin sampai akhirnya berdamai dengan keadaan. Fiuh proses yang cukup panjang dan menyita waktu serta emosi. Ya, Kafin, anak keduaku yang saat ini usianya 3 tahun 2 bulan, mungkin bisa dibilang mungil. Nggak gede kayak anak-anak seumurannya. Tapi percayalah, BB dia yang sekarang itu udah jauh lebih mending dari dulu dulu.

Continue reading “Anak Kurus = Tidak Sehat? Hmm”
Advertisement
Cerita dan Celoteh, Mama Lyfe, parenting

Belajar di PSPA Bareng Abah Ihsan, Impactful!

Beberapa waktu lalu, KIMI (Komunitas Ibu Muda Indonesia) kasih challenge buat mencoba hal baru dengan cara ikut event yang belum pernah dicoba. Aku yang notabene adalah mama-mama rumahan yang kalau udah lelah hobinya neror suami biar cepet pulang, kali ini coba ambil tantangannya. Pasti bingung dong ikut event apa secara nggak banyak temen di Medan. Info pun terbatas. Akhirnya scroll sana-sini di instagram, dan salah satunya ketemulah sama @mommiesprojectmedan. Ada beberapa komunitas yang aku temui juga berkat challenge ini. Beberapa aku juga gabung. MasyaAllah di luar dugaan, challenge ini bawa aku ke banyak kesempatan lainnya.

Dari @mommiesprojectmedan, aku tahu akan ada PSPA bareng Abah Ihsan di Medan. Tapi entahlah, aku belum tertarik daftar. Satu, aku sebenarnya sempat ada di fase menghindari seminar parenting. Why? Lelah aja. After effect-nya ngerasa gagal jadi ibu. Aku nggak bisa praktek sesempurna dan seideal kayak apa kata artikel. And so on. Rasanya aku udah hafal semua isi artikel tentang menjadi ibu ideal. Dan aku beneran lelah. Dua tahun terakhir, aku hampir nggak pernah cerita soal gaya parenting di medsos, pernah ada yang request via DM, aku bilang nggak. Paling aku reshare saja jika ada artikel yang menurutku bagus dan nggak menghakimi. Aku nggak sempurna buat cerita soal parenting. Dalihku. Alasan lainnya adalah nanti anak gimana dong kalau aku ikut PSPA? Sama siapa? Belum siap ninggalin mereka. And so on.

Sampai akhirnya, temen-temen dekatku malah ngajakin daftar. Aku jadi berpikir ulang. Empat tahun terakhir, aku udah berproses dengan segala riuh rendahnya kehidupan baruku sebagai ibu, aku rasa sudah waktunya aku memang harus belajar, melawan segala ketakutan, serta berprasangka baik. Aku juga udah sering lihat profil Abah Ihsan dan sepertinya materinya bagus. Bismillah semoga diri ini sudah cukup siap untuk belajar lagi.

Setelah diskusi sama suami, kami sepakat nggak bisa ikut berdua. Harus salah satu karena suami masih berat jika harus menitipkan anak di daycare. Maka bismillah, akulah yang akhirnya ikut.

Hari pertama, jujur saja aku nggak berekspektasi banyak. Bayanganku ya ini seminar parenting gitu lah pasti diajarin cara didik anak. Pokoknya ya niat belajar aja. Ternyataaaaa. Jeder!

Continue reading “Belajar di PSPA Bareng Abah Ihsan, Impactful!”

Cerita dan Celoteh

Cerita Pernikahan: Dari Tak Kenal Hingga Ta’aruf

Beberapa waktu yang lalu, ada yang nanya di IGS, gimana sih ceritanya dulu waktu ta’aruf sebelum menikah? Lalu aku terpikir untuk kembali menulis cerita ini lagi di blog. Sebenarnya sih cerita gimana aku nikah udah aku share di buku ‘Cinta yang Baru‘ lengkap. Tapi di tulisan kali ini, aku mau cerita tentang persiapannya.

Aku menikah umur 22 tahun 3 bulan, muda apa nggak relatif yaa. Takdir Allah, ketemu jodohnya di usia segitu. Dan iya, aku menikah sama seseorang yang aku nggak kenal sama sekali sebelumnya. Kok bisa? Aku juga nggak tahu. Padahal sebelumnya aku tuh percaya jodoh ada di lingkaran terdekat kita, entah temen sekolah atau kuliah atau organisasi gitu. Eh ndilalah kalau sama yang udah kenal ya gagal terus di prosesnya. Lalu di saat aku mulai menyerah urusan jodoh, ujug-ujug ‘ketemu’ kakak kelas di kampus yang beda empat tahun, beda jurusan, pokoknya nggak pernah ketemu blas lah. Ketemunya aku kasih tanda petik, karena kita belum ketemu secara langsung. Waktu itu hanya via BBM. Dia udah kerja di Medan, dan aku lagi meniti asa menjadi penulis di Bandung. Ceileh meniti asa 😆

Continue reading “Cerita Pernikahan: Dari Tak Kenal Hingga Ta’aruf”

Cerita dan Celoteh, Prosa dan Puisi

Aku Takut Jika…

Aku takut jika orang yang kusayangi pergi meninggalkanku lebih dulu.
Lalu seorang teman menyadarkanku..
Bisa jadi, kitalah yang pergi terlebih dulu. Apa yang sudah kita siapkan?

Aku takut jika esok lusa, hidupku tak berkecukupan.
Lalu sesuatu menyadarkanku.
Bisa jadi, dari dulu aku sudah selalu diberi kecukupan. Tapi aku saja yang lupa mensyukurinya.

Aku takut jika ternyata, apa yang kumau tidak menjadi kenyataan. Lalu teman kembali menyadarkanku. Tugas kita itu memohon lewat doa, tapi bagaimana hasilnya bukan kita yang berhak mengatur.

Aku takut jika ternyata, aku menghadapi sesuatu di luar kemampuanku. Lalu sebuah kajian yang kuikuti mengingatkanku. Jika kita takut tidak mampu menghadapi sesuatu, maka perbanyaklah ilmu tentang sesuatu itu. Siapkanlah bekal sebanyak mungkin sebagai usaha untuk memampukan diri.

Aku takut jika suatu hari hidupku menjadi susah karena sesuatu. Lalu sebuah tulisan yang kubaca mengingatkanku. Sesusah apapun hidup, tugas kita adalah menjalaninya dengan penuh keikhlasan. Jika kita ingat Allah dalam keadaan apapun, maka segala susah terasa indah.

Sering sekali, kita memikirkan masa depan. Sampai lupa menikmati saat ini. Sering sekali, kita menyesalkan masa lalu, sampai lupa, kebaikan yang kita alami hari ini adalah buah dari proses panjang yang kita alami di masa lalu. Semua saling berkelindan. Menjadi sebuah takdir, yang seharusnya kita terima. Kita nikmati. Kita rasakan.

Kita hidup di saat ini. Beribadah di saat ini. Memohon ampun untuk masa lalu tanpa berandai mengubah takdirnya. Menyiapkan usaha terbaik untuk masa depan tanpa menakutkan banyak hal. Kita tahu, yang sulit seringkali bukanlah usahanya. Tapi bagaimana tetap yakin pada-Nya dalam kondisi apapun, bahkan saat yang kita usahakan belum tercapai.

Continue reading “Aku Takut Jika…”

30 Hari Ngeblog Ramadhan, Cerita dan Celoteh, Prosa dan Puisi

Ketika Aku Tidak Mampu

Dear Aku, apa yang sedang kamu pikirkan? Mengapa tak henti kamu rutuki dirimu sendiri? Berhentilah menghujani dadamu dengan sederet perasaan bersalah.

Coba lihat lagi, lihat lebih dalam. Kamu bukannya bersalah, kamu hanya tidak mampu. Dan itu tidak apa-apa. Tidak semua hal mampu kamu kerjakan. Sungguh, itu tidak apa-apa. Karena kamu juga manusia yang tidak maha segala.

Setidaknya, kamu tahu kamu sudah berusaha. Kamu tidak menyerah tanpa melakukan apapun. Kamu sudah berjuang. Tapi akhirnya kamu tetap tidak mampu. Sekali lagi, itu tidak apa-apa. Justru ucapkanlah terima kasih pada dirimu sendiri karena telah mau berjuang sekeras itu.

Aku tahu kamu masih sedih karena kegagalan atau ketidakmampuanmu ini. Pasti karena kamu mulai membandingkan dirimu dengan orang lain. Iya kan?

Mengapa dia bisa berjuang lebih keras lagi sedangkan untuk sampai di sini saja aku tak sanggup?

Mengapa dia malah bisa meraih itu semua tanpa perjuangan yang berarti?

Ya, aku bisa mendengar jerit di hatimu.

Continue reading “Ketika Aku Tidak Mampu”

Cerita dan Celoteh, Prosa dan Puisi

Agar Tetap Menulis di Kala Rempong

Sebagai mama dengan dua anak balita, terkadang aku merasa menjadi orang paling rempong sedunia yang nggak bisa ngerjain apa-apa selain momong anak. Padahal yaaaa, sebenernya nggak gitu-gitu kali.

Prinsipku, selama kita masih bisa buka instagram dan baca whatsapp, selama itu pula kita masih bisa produktif. Nah selanjutnya, itu tinggal masalah kemauan. Mau atau tidak. Dan hanya kita sendiri yang tahu alasan pastinya.

Produktif itu sendiri macam-macam ya definisinya, dan setiap orang berbeda. Terkadang, dengan menyelesaikan setrikaan juga aku merasa produktif wkwkw. Tapi karena aku di sini memang profesiku juga penulis, salah satu indikator produktifku ya ketika menulis.

So, tentukan dulu produktif versi kamu yang seperti apa. Dan lagi-lagi, ini butuh yang namanya self awareness, alias kenal sama diri sendiri. Biar produktifnya kita itu bukan standardnya orang lain. Kan lelah udah ngejar ini itu ternyata nggak puas. Nggak memenuhi kebutuhan diri sendiri. Cuma nurutin ego biar nggak kalah sama yang lain #eh.

Baiklah, kali ini aku mau kecilin lingkup khusus menulis ya karena ini keseharian aku.

“Himsa, gimana sih bisa tetap nulis sambil ngurus dua balita gitu?”

Banyak yang nanya gitu, dan rata-rata ibu-ibu dengan anak toddler. Tahu lah ya gimana lelahnya ngurus todler yang lagi asyik lari sana-sini. Sebenernya bukan ibu-ibu aja sih yang rempong dan jadi males nulis, banyak. Alasannya macam-macam.

Nah, sebenarnya aku sendiri pun tak serajin itu. Ada kalanya juga males banget. Capek. Me time nya mau nonton youtube ringan aja. It’s okay. Tapi ya itu tadi, menulis sama aku itu kayak udah ada ikatan emosionalnya. Jadi, aku merasa aku ada ketika aku menulis. Aku merasa legaaaa banget kalau selesai nulis. Makanya aku ikut event yang bikin aku menulis secara berkala. Nah, di Ramadan ini, aku ambil tantangan menulis selama tiga puluh hari.

Oh, ya, balik lagi. Gimana tuh bisa nulisnya?

1. Tentukan strong why
Temukan alasan yang kuat kenapa sih kamu harus nulis. Kalau aku ya karena nulis itu udah jadi kebutuhan aku. Kalau lama nggak nulis rasanya kayak ada yang sesak gitu. Setelah itu niatin dulu bakal konsisten. Nah terserah mau setiap hari atau setiap minggu atau gimana kamu deh. Yang paling penting, komitmen ke diri sendiri akan menjalaninya dengan baik.

2. Manajemen waktu
Punya anak ini terkadang ngatur waktunya lumayan bikin ngos-ngosan, karena kan mereka nggak bisa kita setting kapan anteng, kapan heboh. Jadi ya kita yang harus pelajari. Trial error pasti. Nanti lama-lama ketemu kok polanya. Kalau aku biasanya nulis pas nunggu Kafin tidur nyenyak. Dia itu sering udah tidur tapi nggak mau ditinggal gitu, jadi harus nempel sama kita. Nah saat itulah aku ambil HP dan ketik-ketik sambil nunggu dia nyenyak.

3. Fleksibel
Nggak usah nunggu ada laptop dulu baru nulis. Inilah yang kumaksud tadi kita masih bisa produktif selama masih bisa baca whatsapp dan buka IG. Karena ya sebenarnya waktu yang kita pakai untuk terlalu lama membaca media sosial itu, bisa kita pakai untuk produktif, baik menulis ataupun yang lain.
Nah, dengan menulis di HP, kita bisa nulis di mana aja. Dulu pas masih kerja, aku selalu nulis di atas transjakarta. Karena jauh kan, jadi lumayan.

Oh ya, kalau aku pakai aplikasi namnya writer. Ini apilkasi ringan tapi bisa lihat udah berapa kata nulisnya, dan lain-lain.

So, masih ada alasan untuk tidak produktif? Silakan. Nggak apa-apa pun jika itu piluhanmu. Tapi jangan lupa semuanya ada konsekuensinya. Jangan sampai kita menikmati suatu pilihan yang kita ambil tapi mengeluh dengan konsekuensinya. Nanti lelah sekali.

Kurang lebih begitulah ya tips tetap bisa menulis meskipun rempong ala ahimsa. Selebihnya ya kembali ke kita sendiri, mau atau nggak.

Semoga bermanfaat. See ya to the next post..

Medan,
9 Mei 2019
22.18

30 Hari Ngeblog Ramadhan, Cerita dan Celoteh, Prosa dan Puisi

Tentang Prasangka Baik

Ketika kita sudah berusaha berprasangka baik, tapi ternyata hasilnya tetap tidak baik, itu rasanya ingin menyerah saja. Buat apa selama ini berprasangka baik? Toh yang terjadi tetap saja buruk. Tetap saja tidak tidak sesuai harapan kita.

Eh tunggu, buruk versi siapa?

Kita mungkin lupa bahwa berprasangka baik itu tidak sekadar berarti berprasangka bahwa sesuatu akan terjadi sesuai keinginan kita. Tapi berprasangka baik juga percaya, bahwa apa yang akan terjadi nanti setelah segala usaha kita, adalah yang terbaik yang diatur Allah–entah sesuai dengan keinginan kita atau tidak. Berprasangka baik itu meyakini, bahwa seburuk apapun keadaan yang menimpa kita, tersimpan hal baik yang sedang disiapkan Allah.

Mungkin tidak sekarang hikmahnya bisa kita ambil. Mungkin nanti. Karena itu prasangka baik selalu berpasangan dengan bersabar.

Prasangka baik bukan pula berarti mengabaikan segala emosi negatif yang sedang kita rasakan. Tak perlu berpura-pura kuat jika memang sedang lelah. Tak perlu berpura-pura sabar jika memang sedang kesal. Tak perlu pula berpura-pura memasang senyum paling manis di media sosial tapi menyimpan sejuta luka di kehidupan nyata.

Berprasangka baik berarti kita menerima itu semua. Boleh lelah, boleh marah, boleh berhenti sejenak dari hingar bingar dunia jika memang terasa begitu sulit untuk sekadar tersenyum. Lalu salurkanlah dengan cara yang baik. Entah menulis, bersih-bersih, menangis dalam salat, atau apapun.

Continue reading “Tentang Prasangka Baik”

Cerita dan Celoteh, Prosa dan Puisi

Untuk Aku yang Sedang Menunggu

Dear Aku,

Kamu tahu? Dari sekian banyak jenis menunggu, yang paling menyakitkan adalah menunggu orang lain atau keadaan berubah. Itu menyakitkan. Karena kita berharap sendirian.⁣

Percayalah. Sekuat apapun kamu meminta, keadaan tidak akan berubah jika kamu tidak memulai menyesuaikan diri dengan keadaan tersebut. Menerima dulu. Seberapapun diri kamu berusaha menolak karena tidak tahan dengan rasa tidak enaknya. Terima dulu.⁣

Dalam proses itu, mungkin kamu akan tahu, bahwa ada hal di kehidupan kita yang akan terasa menjadi membahagiakan hanya ketika kita menerimanya. Terima dulu, barangkali Tuhan sedang menitipkan pesan lewat keadaan itu.⁣

Selebihnya, lakukan upaya yang bisa kamu lakukan. Jangan tunggu keadaan mengubah semuanya lebih baik. Kamu lah yang bergerak. Kamu lah yang memulai, meskipun jika nanti hasilnya tetap tak sesuai keinginanmu.⁣

Apakah itu mudah? Tidak. Continue reading “Untuk Aku yang Sedang Menunggu”

Cerita dan Celoteh, Prosa dan Puisi

Memaafkan Diri Sendiri

Ini adalah aku suatu ketika, yang sedang berbicara dengan diriku sendiri. Adalah aku, yang mulai bertanya. Duhai diri, kapankah kamu akan memulai memaafkan dirimu sendiri?

Entah pada episode ke berapa, kamu akan sampai pada titik itu. Kamu masih saja menangis, atau sekadar merutuk. Mencari orang lain untuk kamu jadikan si ‘Yang Bersalah’, agar kamu menjadi korban. Membiarkan orang lain membuatmu begitu tersakiti. Lalu menangis seolah kamu paling menderita. Berharap menjadi sejenak lebih baik setelahnya. Kamu lagi-lagi begitu menikmati peranmu sebagai korban. Hingga kamu tak sadar, lukamu sendiri kamu tutup begitu tebal. Luka yang kamu perbuat pada dirimu sendiri.

Kalau tak ada lagi sesiapa yang bisa kamu salahkan atas air matamu, maka kamu mulai menyalahkan keadaan. Menyalahkan hujan yang harusnya turun menjadi berkah. Menyalahkan matahari yang harusnya menghangatkan jiwamu. Menyalahkan apa saja. Agar kamu tak tampak bersalah. Agar kamulah yang tampak menjadi korbannya. Hingga kamu semakin tak menyadari, lukamu bernanah di balik perban tebal yang kamu bebatkan. Kamu seolah baik-baik saja. Tapi langkahmu berat, jiwamu kosong. Hanya senyummu tersungging seolah kamu yang paling kuat. Ah, bukankah itu sungguh menyesakkan? Continue reading “Memaafkan Diri Sendiri”

Cerita dan Celoteh

Menulis dan Ketulusan

“Mas, aku ngerasa jadi manusia nggak bermanfaat. Dulu, aku bisa nulis banyak. Udah beberapa hari kayak mandeg. Susah banget tiap mau nulis. Padahal kalau misalnya ngobrol gini bisa menyampaikan. Tapi kok kalau mau nulis susah ya?”
Keluhku melalui telepon.
“Aku punya ide, Mas.” Lanjutku.
“Hmm, apa?”
“Bikin perjanjian ya, jangan telepon aku sampai minimal aku bisa beresin satu tulisan atau satu bab novelku.”
Aku sedikit berat mengatakannya. Untuk pasangan LDR seperti kita, itu namanya bukan hukuman untukku, tapi hukuman untuk kita berdua.
“Nggak mau, ah.” Katanya cepat menanggapi usulku. Continue reading “Menulis dan Ketulusan”