buku, Review

Purple Prose (Ulasan)

Judul buku: Purple Prose
Penulis: Suarcani
Tebal: 304 halaman, 20 cm
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun: Cetakan Pertama, 2018

Sebagai pencinta genre novel metropop, novel ini sangat worth to read. Bahasanya sederhana, mengalir, tapi konfliknya cukup pelik dan membuat penasaran. Pantang berhenti sebelum ending.

Alur cerita bermula ketika Galih dimutasi dari Jakarta ke Bali. Sebenarnya ia tidak ingin kembali ke Bali, kota yang penuh dengan kenangan kelam masa lalunya. Buat apa membuka kenangan buruk, menyakitkan. Bukankah hidupnya sudah nyaman selama ini? Tapi ia tidak punya pilihan lain jika ingin naik jabatan.

Benar saja, di Bali, dosa-dosa masa lalunya, yang selama tujuh tahun ia tinggalkan, mulai menghantuinya. Dan pertemuan dengan Roya, yang ternyata juga memiliki rasa bersalah yg teramat dalam di masa lalunya, membuatnya seperti menemukan kaca. Berdua, mereka mulai mengurai masa lalu masing-masing. Belajar memaafkan diri sendiri, meminta maaf pada siapa yang pernah mereka sakiti, serta menghadapi semua hal buruk yang sebelumnya mereka hindari. Continue reading “Purple Prose (Ulasan)”

Advertisement
buku, Review

Seribu Wajah Ayah: Seribu Kontemplasi

swaSebagai pembaca blog azharologia.com dari ketika postingannya masih belasan sampai sekarang sudah menjelma menjadi tiga buku, rasa-rasanya belum seru kalau saya belum membuat review buku Azhar Nurun Ala di blog ini. Hehehe. Dan Seribu Wajah Ayah, entah kenapa spontan mendorong saya untuk menulis ini. Buku yang sangat layak dibaca siapapun, kapanpun, berkali-kali.

“Selalu ada hal yang lebih bijak dari mengenang: membuat cerita baru yang lebih indah.”

Begitu kata Azhar menutup SWA. Dari semua tulisan Azhar, rasa-rasanya kutipan di ataslah yang paling saya sukai. Kalimat itu (kalau saya tidak salah ingat) juga ada di semua buku Azhar. Kalimat sederhana tapi bermakna dalam. Bagi saya, penutup ini berhasil membuat kita berhenti merutuki masa lalu atau terlena menikmati kenangan. Karena bagaimanapun, kenangan adalah ruang terjauh yang tak dapat kita jangkau, sedang masa depan selalu ada di depan mata kita setiap detiknya, siap kita sambut dengan cerita baru.

Selain penutupnya yang menarik, sebenarnya, sepanjang halaman buku ini pun sudah menawarkan seribu kontemplasi bagi pembacanya. Jujur saja, saya sempat salah terka, saya kira buku ini akan becerita tentang perjuangan dramatis seorang ayah dalam membesarkan anaknya. Ternyata, Azhar membungkusnya dengan kemasan berbeda. Kisah dramatis itu diramu sedemikian rupa menjadi sederhana ke dalam sebelas foto kenangan yang berisi beragam cerita kehidupan penuh makna.  Walaupun sosok ayah di novel ini digambarkan telah tiada, saya rasa Azhar berhasil membuat si tokoh ayah selalu hidup—melalui nasihat-nasihatnya. Sosok Ayah menjelma ke dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari penerimaan takdir, cinta, waktu, cita-cita, pendidikan anak bahkan tauhid.

Kalau boleh sedikit membandingkan, membaca novel ini mengingatkan saya pada ‘Sabtu Bersama Bapak’-nya Adhitya Mulya. Hanya saja, Adhitya membuat sang ayah selalu hidup melalui nasihat yang direkam menjadi video-video. Sementara Azhar, menghidupkan tokoh ayah melalui foto-foto yang bertransformasi menjadi rentetan renungan. Walaupun berbeda gaya penyampaian, kedua novel ini sama-sama menawarkan beragam nasihat kehidupan. Continue reading “Seribu Wajah Ayah: Seribu Kontemplasi”

Cerita Fiksi

Lupa

lupa

Gadis kecil berusia delapan tahun itu terduduk menangis di mejanya. Beberapa teman perempuannya menatapnya sambil berbisik-bisik. Sementara teman laki-lakinya mengejeknya, “Anak pintar kok nggak ngerjain PR?”. Ia benci tatapan dan ejekan itu. Ia ingin pulang memeluk sang mama. Dengan bahasanya, ia merutuki dirinya sendiri, “kenapa aku harus lupa dan teman-temanku ingat?”, begitu keluhnya.

Ia masih duduk di kursinya ketika teman-temannya istirahat. Tadi ibu gurunya memberi hukuman untuk menulis 1000 kalimat “Aku tidak akan lupa lagi untuk mengerjakan PR” di buku tulis. Entahlah, ia bahkan tak menghitung sudah berapa kalimat yang ia tulis. Pensilnya sudah menumpul dan ia raut berkali-kali. Air matanya ia tahan agar tak melunturi tulisannya. Itu hukuman pertama baginya. Bukankah ia gadis penurut yang selalu patuh pada peraturan? Tapi salahkah kalau hari ini ia lupa? Ia hanya lupa, bukan menyengaja.

Ia benci kenapa Tuhan menciptakan lupa. Baginya, lupa itu selalu merepotkan.

***

Tujuh  tahun kemudian.

Gadis kecil yang dulu amat benci pada kata “lupa” itu kini sudah meremaja. Usianya lima belas tahun. Ia sudah pindah bersekolah di sebuah SMA favorit di kota besar. Berlari jauh meninggalkan SD-nya yang pernah amat menyakitinya. Prestasinya kini cemerlang. Ia menjuarai berbagai kompetisi akademik hingga tingkat nasional. Ia pun aktif di berbagai aktivitas organisasi. Jangan tanya berapa jumlah laki-laki yang menyukainya. Banyak sekali.

Lihatlah, hari ini ia tampil mempesona ketika menjadi dirigen pemandu paduan suara pada upacara peringatan hari Kemerdekaan RI di depan walikota. Semua hadirin memuji kepiawaiannya. Sayang sekali, hari ini, lagi-lagi ia harus bermasalah dengan kata “lupa”. Ia lupa memberi tanda pada gerakan tangannya. Nyanyian “Indonesia Raya” yang seharusnya sudah berhenti masih menggema padahal bendera sudah mencapai ujung tiang. Para peserta paduan suara memberi kode supaya ia memperbaiki gerakan tangannya, tapi ia tak paham. Terjadilah keributan kecil akibat kesalahpahaman itu. Upacara di depan walikota itu pun tak berlangsung mulus. Pelatihnya memarahinya. Teman-temannya menyalahkannya.

Menulis 1000 kalimat “aku tidak akan lupa lagi untuk mengerjakan PR” membuatnya pandai meminimalisir diri supaya tidak mudah lupa. Tapi nyatanya, ia harus mengalami “lupa” itu pada hari yang amat penting baginya. Ia semakin benci kenapa Tuhan menciptakan lupa. Baginya, lupa itu selalu merepotkan.

***

Tiga tahun kemudian. Gadis itu sudah mulai kuliah. Sampai usianya delapan belas tahun, ia masih tidak mengerti mengapa Tuhan harus menciptakan lupa untuk manusia. Merepotkan.

“Hei, sepertinya aku mengenalmu.” Seorang laki-laki yang seusia dengannya memanggilnya ketika ia tengah berdiri di halte menunggu bus kampus.

“Iya?” gadis itu mencoba mengamati wajah sang lelaki dengan seksama. Ia belum mengingat siapa dia, tapi hatinya berdesir tidak karuan. Laki-laki itu berbeda dengan laki-laki mana pun yang pernah ia temui. Oh Tuhan, apa gadis itu jatuh cinta?

“Kamu lupa ya?” kata lelaki itu.

Gadis itu benci dengan pertanyaan itu, “tidak, tidak, aku sudah berjanji tidak akan menjadi pelupa sejak usiaku delapan tahun.”

“Sejak hukuman menulis 1000 kalimat itu ya?” kata sang laki-laki sambil tersenyum.

Gadis itu terkejut.

Continue reading “Lupa”

buku, Review

2 States The Story of My Marriage

Sebelum kau membangun masa depan, kau harus memperbaiki masa lalu

—Chetan Bhagat

2 states

Sudah lama sekali saya tidak menulis review buku ya? Padahal menulis kembali apa yang telah dibaca adalah salah satu upaya untuk mengikat makna, yang membuat isi buku akan terus tertinggal di hati. Dan semoga hikmah baiknya bisa kita jadikan pelajaran dan kita terapkan. Baiklah, kali ini, di tengah profesi saya sebagai full time blogger (karena masih menunggu supaya jadi profesi lain yang sejalan, mohon doa) dan keasyikan membaca tulisan-tulisan dari sahabat Gamus, saya membaca sebuah novel kocak tapi juga bijak. Saya menemukannya ketika refreshing (baca: cuci mata di Toga Mas). Sebuah kalimat “Salah satu novelnya diadaptasi menjadi film 3 Idiots” di kover sebuah buku langsung membuat tangan saya menarik buku itu dan membaca sinopsisnya. Bahkan saya baru tahu kalau 3 Idiots itu diadaptasi dari novel (ke mana aja, Hims?). Well, kemudian galaulah saya karena baru saja 5 buku saya serahkan ke kasir. Apalagi, ada 3 judul buku dari penulis yang sama, yang sialnya juga sama menariknya, pun menggoda untuk dibeli. Ditambah lagi tulisan besar-besar “Diskon 30% untuk novel s.d. 9 Februari”. Baiklah, karena saya sadar saya terancam tidak makan kalau membeli semuanya, saya putuskan untuk ambil satu saja. Setelah menghitung kancing baju yang nggak ada kancingnya (naon?), saya memilih buku “2 States The Story of My Marriage” untuk melengkapi buku lain yang sudah di kasir.

Novel terbitan Bentang Pustaka ini tidak bisa membuatku menunggu lama. Langsung saya baca di angkot dalam perjalanan pulang, hehe. Gaya bahasanya menarik, terjemahannya tidak membingungkan sehingga masih rasa “Indonesia” walaupun ditulis oleh penulis kebangsaan India dan berlatar budaya India. Total 479 halaman sama sekali tidak membuat novel ini terasa tebal. Cerita yang seru selalu menarik untuk dilanjutkan bukan?

Chetan Bhagat—sang penulis—menceritakan tentang proses menuju pernikahan dari dua orang yang saling mencintai. Namun, dalam pernikahan, cinta saja selalu tak pernah cukup. Menurut simpulan saya, setidaknya ada empat hal yang harus diperhatikan untuk menuju fase tersebut: Continue reading “2 States The Story of My Marriage”