“Jadi kamu tidak mengundangnya?” suara Mama yang terdengar di speaker handphone-ku membuatku terdiam beberapa detik.
“Ma, tadi launching bukunya lancar lho. Alhamdulillah banyak yang antusias dan beli bukuku.” Biasa. Tips paling ampuh untuk hal-hal yang tidak mampu kita jawab adalah mengalihkan pembicaraan pada topik lain.
“Bukan itu, Farikha. Mama tahu soal launching bukumu. Tadi adikmu sudah nunjukin foto-foto yang masuk di twittermu. Mama tanya tentang Razif. Tadi dia tidak datang? Di acara wisudamu dua hari lagi juga dia tidak datang?” Ah, rupanya jurus itu tak mempan untuk Mama.
“Belum bisa, Ma. Mungkin dia sibuk. Mama tahu kan siapa Razif di kampusnya?”
“Iya, tapi launching bukumu kan di kampusnya, harusnya dia bisa datang barang sebentar. Kamu tidak menghubunginya lagi ya?”
“Ma, ini temen-temen dari Bandung udah jemput, nanti pas udah sampai Farikha kabarin yah. Jangan lupa pakai gamis paling cantik buat wisudaanku dua hari lagi, ya. Sampai ketemu di Bandung.”
Klik. Mama menutup telepon begitu saja. Aku tahu Mama marah. Sejak Mama tahu tentang cerita kita setahun lalu, pembicaraan tentangmu mengiang dalam setiap obrolan telepon. Mama berharap banyak di saat aku dan kamu seperti ini: sekadar bersapa atau berkomunikasi pun tidak. Aku tidak mungkin tak memberitahumu soal peluncuran buku ini. Bukankah kamu orang yang empat tahun lalu mengingatkanku tentang mimpiku ini? Yang dengan semangat rajin bertanya, “Hai, sudah sampai bab berapa novelnya?” Entahlah. Nomormu tiba-tiba tidak aktif, last seen di whatsappmu seminggu yang lalu, dan apalagi twitter dan facebook, entah kapan kamu terakhir log in. Memberitahumu secara langsung? Bagaimana caranya? Sementara otak kita mungkin sudah lupa kapan dan bagaimana kita terakhir bertemu. Ya, kamu tiba-tiba saja menghilang dan aku tak berani sekadar bertanya pada teman-temanmu. Memang salahku. Gengsi. Ah, biarlah.
“Farikhaaaa!” seseorang yang amat kukenal suaranya, sahabat baikku selama hampir empat tahun susah senang di Bandung, menghentikan kecamuk pikiranku. Dia menghambur memelukku.
“L parah banget nggak datang tadi. Huaaa.” Aku merajuk sambil melepaskan pelukannya.
“Nggak apa, yang penting lancar kan tadi? Sorry, tadi gue harus mengurus banyak hal di Bandung. Yang penting bisa jemput kan? Gue bawa kabar baik, Say. Kabar 85%!”
“Ha? Kabar 85% teh naon?”
“Haha. Yuk masuk ke mobil dulu.” Continue reading “Ruang Nostalgia (Part of Presipitasi)”