Cerita Fiksi

Biru

sama-sama biru namun memiliki cerita yang berbeda
sama-sama biru namun memiliki cerita yang berbeda

Bukan aku.

Bukan begitu? Ah, kamu bahkan berpura-pura tidak tahu. Bukankah seperti itu cara kerja rindu: diam-diam, lalu angin mengalirkannya ke dalam sanubari Sang Pemilik Rindu. Dan aku tahu, bukan aku pemilik sanubari itu. Ya, aku tahu dalam ketidaktahuanku. Rindu diam-diam itu senantiasa dialirkan angin secara perlahan, sedang aku hanya menyaksikannya lewat. Sementara rinduku pun meronta mengejar laju angin. Tak mampu.

Seperti malam ini, buku maya milikmu kembali menggoreskan lagi cerita-cerita birumu yang penuh metafora itu. Tentang angin yang lagi-lagi kausebut sebagai sahabat terbaikmu. Tentang air matamu yang kubaca dari baris-baris hurufmu. Tentang rindumu yang masih menyimpan sendu. Ah, kamu tidak tahu, di sini ada tentang aku yang diam-diam mengamati setiap sendumu, yang ingin sekadar mengatakan “Hei, jangan sedih, aku punya ratusan puisi balasan untuk setiap surat yang kautitipkan pada angin”, tapi tak pernah mampu. Bagaimana bisa? Bukan aku. Maka menyeduh kopi, menelan kembali semua puisi yang tercurah, adalah pilihan yang lagi-lagi kulakukan. Mungkin akan selamanya begitu, kalau saja malam ini kamu tidak menyebut namaku dalam akun twitter yang kamu punya. Continue reading “Biru”

Advertisement