Kemarin gerimis menyapa keringnya rasa. Aku terduduk tersenyum mengingat aku yang tak boleh mengenangnya, mengingat kemarau panjang yang mendera sejak awan berarak dari tempatku berpijak, membawa serta pula hujan yang dulu pernah menjadi teman baikku. Ya, kemarin gerimis menyapa tanah yang kini kering. Meski dalam mimpi singkat di malam hari.
Kemarin, gerimis kembali menyapa keringnya rasa. Aku susah payah menarik lagi logikaku yang melumpuh. Kalau saja awan tak berarak, kalau saja tanah ini masih subur oleh hujanmu, kalau saja.., kalau saja.., kalau saja hujan masih setia di tanah ini. Ah, mungkin tanah ini tak akan sekering ini.
Continue reading “Hujan (tak pernah sama)”
Tag: hujan
Dan Hujan Pun Reda
Aku bahagia, seperti terlahir kembali. Setelah lama berjalan menerabas hujan, detik itu akhirnya tiba. Detik saat hujan mereda. Lalu sinar mentari pelan-pelan merona kembali, menawarkan cahaya kemerahan yang menyegarkan kulitku. Hujan itu benar-benar reda. Aku tak perlu lagi menahan perih pada rintik hujan apalagi ruang-ruang di selanya.
Aku berjalan lagi menyusuri abjad-abjad, merangkainya. Hujan yang mereda membuatku menyadari bahwa bukan kedatanganmu sambil menerabas hujan yang benar-benar kunanti. Aku merindu kebebasan. Menghirup udara segar tanpa basah hujan. Aku merindu cahaya. Berjalan pelan membentuk siluet indah. Aku merindu menjadi seperti ini. Terima kasih, Tuhan. Kau redakan hujan ini pelan-pelan.
Barangkali benar, semakin besar hujan, semakin segar udara yang tertinggal setelahnya.
Ah, bukankah hujan hanya bagian dari siklus kehidupan? Ia hanya sekelumit proses yang meninggalkan jejak hikmah. Jadi, tetap biarkan tangan Tuhan yang bekerja. Aku akan tetap berjalan dengan payungku sendiri, yang akan kukembangkan kapanpun aku mau. Aku tak akan mencari peneduh. Barangkali aku hanya perlu terus berjalan. Akan tiba waktu saat perjalanan ini menjadi sempurna dengan teduh yang diberikan-Nya. Entah kapan. Entah dengan siapa. Entah di mana. Aku hanya perlu terus berjalan menuju-Nya. Bukan begitu?
Bahagia amat sangat.
Cibitung, di rumah seorang sahabat lama
13 Juli 2013
23.06 WHH
Kamu, Hujan, dan Pohon Besar di Perempatan
Tahukah kamu cerita tentang jendelaku yang sempat menutup dan aku yang tak berani menatap hujan? Ya, bagiku bukan hujan di bulan Juni yang penuh magis. September. Hujan di bulan September adalah teman paling syahdu namun amat menyakitkan untuk ditatap. Hujan terus merintik kala itu. Tak peduli aku menutup telinga, bersembunyi di balik gorden biru, bahkan kututup rapat jendelaku. Hujan terus merintik. November bahkan berkonspirasi dengan langit untuk terus menumpahkan uap-uap awan itu di belahan bumi ini. Hujan, seberapa menyakitkan pun, ia tetap milikmu. Baunya terendus menenteramkan bahkan ketika aku menjauh sekali pun.
Tahukah kamu bagaimana ceritaku dan hujan selanjutnya?
Seperti yang kukatakan, aku menunggumu menerabas ruang-ruang di sela hujan, berlari, membuka jendelaku, memanggilku, memberi teduh seperti yang pernah kauberi sebelum ruang-ruang itu ada.
Sayang sekali, senyap. Kamu tak pernah ada, bahkan sekadar mengintipku. Atau barangkali aku yang tak tahu? Entahlah. Tapi ruang-ruang itu semakin asyik bercengkerama dalam bagian rintikmu, menyisakan perih di sela bau hujan yang kaukirim.
“Kau tahu kenapa dia tidak menerabas hujan seperti pintamu?” kata temanku suatu ketika, “karena ia bertanggung jawab. Ia tidak ingin kehadirannya menyakitimu seperti itu lagi. Percayalah, ia akan datang lagi ketika semuanya membaik. Memberi rumah paling teduh untukmu menikmati hujan sore hari bersamanya.”
Aku diam saja mendengarnya. Rasanya antah berantah. Aku takut jika tak seperti itu.
Apa yang kulakukan selanjutnya? Aku justru membuka jendelaku perlahan, berjalan perlahan, lalu menari di sela hujan. Menerabas hujan itu ke mana pun aku suka. Membuat semua seolah baik-baik saja. Kembali tersenyum ceria. Kulewati taman-taman indah. Kulukis harapan di taman-taman itu.
Payung-payung berdatangan ingin menjadi peneduh. Hei, ada yang berwarna biru. Sengaja sekali. Sang empunya payung tahu betul cara menaklukanku. Ia tiada henti mengikuti langkahku, mengkhawatirkan kondisiku yang terus berjalan menerabas hujan. Sayang sekali, alih-alih aku malah menjauh.
Ah ya, ada bagian yang kaulewatkan. Bukan tentang payung, tapi rumah. Ya, ada yang memberikan rumahnya untuk menjadi tempatku berteduh. Luas sekali. Indah. Sayang sekali ia tidak biru. Lagi-lagi, aku justru menjauh.
Apa yang kumau? Entahlah. Continue reading “Kamu, Hujan, dan Pohon Besar di Perempatan”
Novembiru ~ berakhir
November sebentar lagi meninggalkan langit. Bulan siap berganti dengan wajah barunya. Aku menutupnya dengan menari menerjang hujan. Menuju semangkuk indomie pedas bergulung gunungan keju. Ya, aku selalu merindukan keju seperti aku merindukanmu. Tapi November ini, biarlah keju tidak menganalogikan kamu. Cukup keju saja. Aku menyukainya. Amat.
Dan selain keju, menari di tengah hujan adalah hal yang benar-benar baru bagiku.
Hujan, Dingin, dan Jendela yang Menutup
Entah kenapa, aku masih suka bermain dengan lima huruf ini. Menikmati sore sambil memainkan jemari mempersoalkan hujan.
Hujan, entah kali ini siapa yang berhasil menebak maknanya. Aku tidak menunggu puisi balasan. Tapi, jika ada, tentu akan sangat mengejutkan. hehe.
Dan sore ini, bisa jadi kenangan tentang hujan menutup seiring dinginnya sela yang dihadirkannya dan jendela kamarku yang juga menutup perlahan. Aih, aku terlalu banyak berkata. Ini puisiku ke sekian tentang hujan.
Hujan, Dingin, dan Jendela yang Menutup

Puisi Balasan- Jika Hujan itu Masih Miliknya
Baru pertama kali aku memperoleh puisi balasan, tanpa kuminta. Ia menebak-nebak makna puisi “Hujan” yang sebenarnya terangkai begitu saja dari tuts-tuts hitamku. Ya, dia benar, setiap kata menyimpan makna, begitupun hujan sore itu yang kutulis. Tak pernah kusangka dia benar-benar mencari dan menyelami maknanya, berkali-kali bertanya padaku benar demikian atau tidak, berkali-kali kukatakan “bukan begitu”. Lalu terakhir saat aku mengatakan “iya benar” , melalui ruang maya bernama whatsapp, dia memberikan sebuah link. Puisi balasan darinya. “Spesial buat kamu, Himsa.” katanya. Aku tahu ini bentuk sayangnya untukku. :’)
Jika Hujan itu Masih Miliknya
Continue reading “Puisi Balasan- Jika Hujan itu Masih Miliknya”
Hujan
Sore ini hujan milikmu lagi..
Ketika rintik-rintiknya menyanyikan nada cerita magis
Sore ini hujan milikmu lagi..
Sebagaimana sisa baunya yang masih terasa bahkan ketika kamu pergi
Sore ini hujan tidak deras..
Tapi masih milikmu.
Kamu bersembunyi di ujung sana
Di sela rintik yang menggerimis, kamu berikan ruang untuk siapapun menerobosnya
Dan kamu susah payah membuat ruang itu tak ada lagi.
Sore ini hujan masih milikmu..
Sambil berbisik angin melerai raguku
Ruang itu akan tetap ada.
Walau ia tahu di sini aku berteduh.
Tapi hujan masih selalu milikmu
Di mana teduh adalah saat kamu benar-benar menerabas hujan ke arahku, meninggalkan ruang di sela-selanya.
Sore ini hujan masih milikmu..
Aku menatapnya di balik jendela kamarku
Berdamai pada angin yang terus melerai kecamuk dada
Sore ini hujan masih milikmu..
Walaupun menatapnya adalah sakit luar biasa yang kubunuh atas namamu.
Pojok Biru 2,
30 Oktober 2012
19.03
(membenci) hujan
Pagi. Sebelum bertemu kembali dengan tawa adik-adik dan hiruk pikuk UAS, aku ingin kembali bercengkerama dulu dengan huruf-huruf. Tentang langit dan hujan (lagi).
Di sini, saat aku menulis ini, di depanku masih tidak hujan. Tapi aku sedang berusaha membenci hujan. Sedang berusaha mendiamkan hujan. Tanpa mengerjap senang ketika ia datang. Tanpa memerah ketika ia menjamah tanah-tanah kering. Tapi lihatlah, aku bahkan mengingat dan menulis tentang hujan, saat ia tak datang sekalipun. Huftt.
ada ‘bias’ dalam ‘biasanya’
Mengapa mereka mencintai hujan? Bahkan kamu juga. Apa hujan menyampaikan perih-perih rasa yang tak mampu tersampaikan? Tidak, tentu saja aku tidak membenci hujan. Aku juga mencintai hujan, sama seperti mereka mencintai hujan. Apa kenangan hujan itu selalu manis? Apa rintik hujan itu seperti satu demi satu rintik kenangan yang membuat kita tiba-tiba memiliki rindu?