Bersama huruf, aku selalu mendapat pembenaran atas absurditas yang kuimajikan. Walaupun kamu menyangkal bahwa ini semua tak penting. Tapi bagiku selalu penting. Karena bersamaan dengan aku menyeduh huruf demi huruf dalam cangkir yang kamu genggam sekarang ini, ada banyak simpul yang terlepas dan membuat segala terasa bebas. Cerita yang tak sempat tertata. Kata-kata yang terbata-bata. Cita-cita yang masih bernegosiasi dengan fakta. Atau sekadar tentang kamu yang belum sempat menjadi kita.
Bersama huruf, aku menjelajahi sejarah, menginjeksi kapabilitas diri dalam berimaji dengan cairan-cairan kata, yang mungkin cukup dimengerti dengan nurani. Aku ingin memetaforakan segala hal menjadi bermakna, yang kata mereka, bahkan juga katamu gombal, geje, tidak bermakna, tapi aku mencintai itu semua. Aku ingin membahasakan langit—yang memang selalu jadi metafora terindah—juga angkasanya. Aku bahkan ingin membahasakan baju seragam, lantai, sapu, sendok, tangga bahkan sampah sekali pun, seperti Dee yang membahasakan sikat gigi atau kopi menjadi begitu bermakna (kalau mau mengambil maknanya).
Tapi entah, akhir-akhir ini, aku selalu merasa huruf-huruf yang terangkai dibredel oleh arus globalisasi yang memaknakan huruf dengan berbagai hal yang terdengar seperti olokan. Rangkaian huruf sering terbantaikan dengan huruf masa kini. Continue reading “Sekadar Kata tentang Hurufku (kini)”