
“Tapi aku sudah memutuskan untuk berhenti.”
“Lalu dengan berhenti kamu akan punya mimpi baru?”
“Tidak, aku hanya ingin lebih realistis, Ray. Kita sudah bukan remaja enam belas tahun lagi, bukan saatnya untuk bermimpi.”
“Baiklah. Malam ini, pukul 23.32, kamu mungkin akan mengerti.”
Ray berdiri. Matahari masih sangat muda, bahkan belum bulat utuh. Sepagi itu, kamu sudah datang, lalu pergi empat menit kemudian. Kursi kayu yang masih basah berembun ini kini hanya tinggal aku yang menduduki. Harusnya kita berbicara lebih lama lagi. Duduk manis sembari berceloteh tentang kenangan. Atau tentang dua tahun tujuh bulan yang kita lalui dalam keterpisahan.
***
Aku terlelap lebih dahulu, belum sempat menunggu pukul 23.32 seperti yang kamu katakan, Ray. Ah, tidak, lebih tepatnya aku sengaja tidur cepat. Aku tahu, 23.32 tidak lebih dari sekadar jam. Tidak akan terjadi apa-apa. Aku tahu betul tabiatmu itu, Ray. Walaupun umurmu sekarang sudah 22, nyatanya kamu masih tidak juga berubah. Laki-laki pemimpi yang terlalu idealis. Sekarang pukul 23.47, aku terbangun. Entah kenapa, walaupun tidak percaya, ternyata aku penasaran juga.
Aku tahu jam dinding biru yang diam di sebelah barat kamarku sekarang menertawakanku. Rasanya aku ingin berbicara padanya, apa yang terjadi 15 menit lalu? Tapi aku tidak mau jadi pemimpi bodoh lagi. Maka, kuputuskan untuk menarik lagi selimut bermotif daun yang tebalnya sampai 1,5 cm ini. Tidur. Tapi..
“Sudah berapa buku?”
“Empat.”
“Sudah kamu kirim ke penerbit?”
“Sudah dibakar Ayah.”
“Soft-file-nya?”
“Untuk apa? Lebih baik aku fokus pada tugas akhirku yang tak kunjung selesai saja, Ray.”
“Kamu ini kenapa Nadia? Kamu sudah ingin berhenti menulis?”
“Aku akan jadi dokter, bukan penulis novel.”
“Kamu bisa jadi dua-duanya.”
Sisa-sisa pembicaraan denganmu tadi pagi menggema. Ray, kenapa kamu memarahiku? Kumohon biarkan saja aku seperti ini. Aku tidak akan pernah bisa jadi dua-duanya kalau aku memilihmu.
***
Pagi ini, aku ingin menemuimu, Ray. Bukan untuk membicarakan kenangan kita. Bukan juga untuk mengurai rindu atas keterpisahan yang kita alami. Bukan pula ingin bertanya ini itu tentang tiga novel best seller-mu yang terbit mendahului novelku. Entahlah, sejak lima menit lalu, aku hanya duduk di kursi plastik berwarna biru yang bertengger manis di beranda rumahmu. Beruntung, kamu sempat mendengar suara sepatuku. Continue reading “23:32”