Ternyata anak-anak kembali memberi nafas untukku..

Setelah semalam berkutat di depan laptop, sok-sok bersahabat dengan tugas, padahal sebenarnya hanya menatapnya, sembari sendu. Menangis tanpa tahu kenapa. Merindukan siapapun. Ingin pergi ke manapun. Ingin menjauh dari huruf-huruf teori yang aaaarggh, menumpukkan presipitasi hitam di bawah sadarku. Entah apa yang terjadi padaku semalam. Aku terus diam, sampai tiba-tiba tertidur, terbangun lagi, berduaan dengan-Nya, menangis lagi. Itu yang terjadi sampai matahari mulai naik pagi tadi. Pintu kamar tertutup. Jendela rapat. Korden pun juga. Aku masih diam menatap laptop. Tapi pagi tadi sudah tak ingin pergi, ingin diam.
Lalu tawa-tawa terputar di antara penatku. Membuatku semangat berdiri, merapikan sekotak biru yang tersebar di dalamnya buku-buku berserakan, juga laptop yang menganga. Handuk biru mengundangku, cepat-cepat memintaku membersihkan badan. Aku tahu ini sudah lebih untuk dikatakan telat. (Jarkom jam 08.00, tapi aku baru siap pukul 9.30). Aku tidak peduli. Tetap berjalan, berlari, menuju kampus biruku. Continue reading “Kampung Belajar (lagi)”