Tahukah kamu cerita tentang jendelaku yang sempat menutup dan aku yang tak berani menatap hujan? Ya, bagiku bukan hujan di bulan Juni yang penuh magis. September. Hujan di bulan September adalah teman paling syahdu namun amat menyakitkan untuk ditatap. Hujan terus merintik kala itu. Tak peduli aku menutup telinga, bersembunyi di balik gorden biru, bahkan kututup rapat jendelaku. Hujan terus merintik. November bahkan berkonspirasi dengan langit untuk terus menumpahkan uap-uap awan itu di belahan bumi ini. Hujan, seberapa menyakitkan pun, ia tetap milikmu. Baunya terendus menenteramkan bahkan ketika aku menjauh sekali pun.
Tahukah kamu bagaimana ceritaku dan hujan selanjutnya?
Seperti yang kukatakan, aku menunggumu menerabas ruang-ruang di sela hujan, berlari, membuka jendelaku, memanggilku, memberi teduh seperti yang pernah kauberi sebelum ruang-ruang itu ada.
Sayang sekali, senyap. Kamu tak pernah ada, bahkan sekadar mengintipku. Atau barangkali aku yang tak tahu? Entahlah. Tapi ruang-ruang itu semakin asyik bercengkerama dalam bagian rintikmu, menyisakan perih di sela bau hujan yang kaukirim.
“Kau tahu kenapa dia tidak menerabas hujan seperti pintamu?” kata temanku suatu ketika, “karena ia bertanggung jawab. Ia tidak ingin kehadirannya menyakitimu seperti itu lagi. Percayalah, ia akan datang lagi ketika semuanya membaik. Memberi rumah paling teduh untukmu menikmati hujan sore hari bersamanya.”
Aku diam saja mendengarnya. Rasanya antah berantah. Aku takut jika tak seperti itu.
Apa yang kulakukan selanjutnya? Aku justru membuka jendelaku perlahan, berjalan perlahan, lalu menari di sela hujan. Menerabas hujan itu ke mana pun aku suka. Membuat semua seolah baik-baik saja. Kembali tersenyum ceria. Kulewati taman-taman indah. Kulukis harapan di taman-taman itu.
Payung-payung berdatangan ingin menjadi peneduh. Hei, ada yang berwarna biru. Sengaja sekali. Sang empunya payung tahu betul cara menaklukanku. Ia tiada henti mengikuti langkahku, mengkhawatirkan kondisiku yang terus berjalan menerabas hujan. Sayang sekali, alih-alih aku malah menjauh.
Ah ya, ada bagian yang kaulewatkan. Bukan tentang payung, tapi rumah. Ya, ada yang memberikan rumahnya untuk menjadi tempatku berteduh. Luas sekali. Indah. Sayang sekali ia tidak biru. Lagi-lagi, aku justru menjauh.
Apa yang kumau? Entahlah. Continue reading “Kamu, Hujan, dan Pohon Besar di Perempatan” →