“Mamaaaaa. Ada Dek Nadaaa.” Ayin tiba-tiba berhenti menumpuk buku-buku komik yang ia susun menjadi rumah-rumahan. Ia cepat berlari keluar toko. Lupa pula memakai sandalnya. Padahal baru kemarin mamanya memberikannya sepasang sandal berwarna biru. Kemarin ia kekeuh tidak mau mencopot sandal itu. Lihatlah, demi seseorang yang ia panggil “Dek Nada”, laki-laki kecil berusia empat tahun itu melupakan semua keasyikannya. Beberapa pembeli yang tengah memilih buku bahkan sampai menoleh kaget mendegar teriakan Ayin. Diani, salah seorang kasir yang dari tadi bersama Ayin juga kaget. Ia malah hampir mengejar Ayin, meninggalkan mesin penghitung, namun tercegah oleh lirikan seorang pembeli wanita paruh baya bergaya modis yang tengah membayar buku yang dibeli. Diani hanya melirik Ayin. Kaget. Takut Ayin lari ke jalan raya.
Apalagi Farikha. Ia kaget bukan main. Mendengar kata “Dek Nada” berarti akan ada pula seorang perempuan bernama Leni, sahabat lamanya. Temannya menggila, menangis, tertawa, bahkan bermimpi. Bersama Leni pula, toko buku “Tuman” dirintis dan sekarang sudah melampaui impiannya. Toko buku “Tuman” kini menjadi toko buku favorit di Bogor. Ia cepat mematikan kompornya dan membenarkan tali jilbabnya. Menarik roknya sedikit ke atas agar larinya tambah cepat. Diani tampak bingung menyaksikan mama dan anak berlarian.
“Buruan, Mbak. Jangan ngelamun.” Ibu-ibu itu akhirnya protes juga.
Diani kembali fokus. Ayin sudah sampai terlebih dahulu. Ia menggandeng gadis kecil berusia 3 tahun yang rambutnya dikuncir dua. Continue reading “(Bukan) Ulang Tahun Online”