Toko buku ini masih sepi. Salah seorang petugasnya masih tampak menata buku di rak tengah, rak buku best sellers yang ditata sedemikian rupa untuk menarik perhatian pengunjung. Aku sengaja datang pagi-pagi, mencari diskon 25% yang ditawarkan toko ini untuk seratus pelanggan pertama. Aih, dasar manusia diskon! Tapi biarlah, untuk seorang penggila buku sepertiku, empat kali diskon 25% bisa menambah satu koleksi buku, itu penting. Hehe.
Tidak seperti biasanya, kali ini aku tidak langsung menuju ke rak pojok depan tempat novel-novel tertata rapi. Sengaja. Aku melangkah lebih jauh menuju rak belakang untuk mencari buku tentang filsafat komunikasi yang menjadi bahan dasar skripsiku. Skripsi? Ah, makhluk yang satu itu mau tidak mau mengurangi jatahku menulis dan membaca kisah-kisah fiksi. Sesampainya di area buku komunikasi, langsung saja kubuka buku “Filsafat Ilmu Komunikasi” karangan Elvinaro yang kebetulan sudah dibuka sampulnya. Barangkali buku ini bisa menjawab pikiran kacauku tentang paradigma penelitian.
“Aisa.” Seseorang memanggilku. Aku menoleh mencari sang pemilik suara. Seketika kutemukan seorang lelaki melambaikan tangannya sambil tersenyum di balik rak buku di seberang tempatku berdiri.
Astaga. Sekejap kecamuk pikiranku tentang paradigma penelitian, data-data latar belakang, teori-teori filsafat komunikasi yang beberapa hari ini mengganggu pikiranku, enyah begitu saja. Aku tidak tahu molekul apa yang mampu menerbangkan mereka dari pikiranku. Seketika itu pula, mataku tertuju pada baju cokelat muda sesiku yang tampak dari sela-sela buku daaaan.. sepasang sesuatu yang mencirikhaskan dirinya. Itu dia. Kacamata itu. Kacamata itu mencirikhaskan seseorang yang… ah, tidak salah lagi. Itu dia.
“Eh, Bang Izar?” Aku menutup buku yang dari tadi kubaca. Hatiku memuji diriku yang bisa mengendalikan setrum yang tiba-tiba saja serasa mengaliri seluruh pembuluh darahku. Dia tersenyum lagi.
“Sudah pulang ke Indonesia, Bang?” kali ini aku mengutuk diriku. Pertanyaan bodoh. Jelas-jelas ia kini di depanku—tentu saja di Indonesia.
“Iya, kangen buku-buku berbahasa Indonesia.” Katanya sambil menyodorkan sebuah buku yang judulnya tak sempat terbaca olehku.
“Oh, thesisnya sudah selesai ya? Wah, keren..” pembicaraan ini mulai kaku, aku tidak tahu harus berbicara apa. Bertemu dengannya di pertemuan yang amat tak terduga seperti ini adalah kejutan yang tak pernah kusiapkan bagaimana cara mengatasinya.
“Belum kok, Abang ke Indonesia cuma seminggu karena kebetulan dapat tiket sponsor. Sebentar lagi selesai insyaAllah, Sa. Doanya.”
“Aamiin. Sukses selalu, Bang.”
“Rumah Langit apa kabar?”
“Masih biru seperti langit, Bang. Maksudku, adik-adiknya masih ceria dan semangat. Kalau ada waktu senggang, main saja, Bang.”
Dia tersenyum. Ingin sekali kutanyakan banyak hal, tapi semua terkunci bisu di tenggorokan. Kapan ia akan mengunjungi Rumah Langit? Masihkah ia ingat pada junior macam aku yang hobi sekali bikin heboh di komunitas itu? Masihkah ia rindu hari-hari tertawa ketika merangkai permainan untuk adik-adik? Ah, tapi tak ada satu pun pertanyaan-pertanyaan itu yang terlontar . Hanya itu pembicaraan kami di pagi yang sepi di toko buku. Aku pamit sesaat setelah ia tersenyum. Kuambil saja buku “Filsafat Ilmu Komunikasi” yang dari tadi kubuka-buka dan kuserahkan ke kasir. Bang Izar masih menyusuri rak-rak buku itu. Aku menelan ludah sambil meninggalkannya. Kalau saja aku bisa berbicara padanya lebih lama… Kalau saja tenggorokanku tidak kering seketika.. Kalau saja tanganku tidak gemetar. Tapi entahlah perasaan apa ini namanya. Aku sudah lama sekali tak merasakannya sejak urusan patah hati menoreh luka di dasar hati. Aku seperti menyentuh langit. Melayang.
***
Nina tertawa mendengar ceritaku pagi ini, sepulang dari toko buku. Aku cepat mengetuk pintu kamarnya. Masih pukul 09.00, ia masih mengantuk. Aku yakin dia baru tidur pukul 07.00 mengingat kebiasaannya begadang semalaman. Ah, tapi demi mendengar ceritaku pagi ini, matanya terbuka lebar. Ia asyik menertawakanku. Aku cemberut.
“It is a crazy little thing called love, Baby.” Katanya santai sambil menarik ciput jilbabku, membuat dahiku tertutup kain jilbab.
“Iya, terakhir aku melayang-layang di langit kayak gini ituuuu, lima tahun lalu, pas masih SMA. Kamu tahu persis ceritanya. Ah, kamu tahu aku hampir tak percaya pada hal kecil gila yang kamu sebut love. Bagaimana pun aku menjaga dan menghargai cinta, toh akhirnya cinta hanya berujung sakit kan? Sakit sekali, Nin. Melayang di langit, menunggu dijemput di singgasana bulan, lalu dijatuhkan begitu saja ketika senja menjelang.” Aku berbicara panjang sambil berfilosofi tidak jelas—kebiasaanku.
“Siapa yang bilang kalau cinta itu harus melayang-layang di langit? Itu salahmu sendiri, Aisa.” Continue reading “Langit (cerpen)”