
Kampus berubah. Empat institusi disatukan dalam wadah universitas. Untuk sementara waktu semua status ormawa demisioner. Semua harus memulai lagi. Semua harus berjuang lagi. Begitulah, selalu ada pengorbanan untuk setiap perubahan. Bagiku, beruntunglah mereka yang di hatinya punya rasa gelisah atas kondisi keberlanjutan dakwah mengingat semua kondisi itu. Maka tulisan ini saya awali dengan rasa salut saya pada tim unifikasi LDK Universitas Telkom yang berhari-hari mengesampingkan ego mereka, untuk menyusun banyak draft yang pasti memusingkan. But they do it surely. Entah berapa jam tidur mereka.
Saya sendiri pada awalnya tidak terlalu peduli, masalah ini sejujurnya tidak menjadi prioritas awalku. Dalam otakku, tanpa saya berkontribusi sekali pun, LDK akan tetap terbentuk dan berjalan sebagaimana mestinya. Terlebih lagi banyak agenda lain yang lebih menggoda untuk dikerjakan. Intinya, saya berpikir bahwa banyak orang yang lebih berkapasitas dari saya untuk menjalankan amanah tersebut. Tapi ternyata saya salah. Bukan dakwah yang membutuhkan saya, tapi saya yang membutuhkan dakwah.
Allah lalu ‘menyesatkan’ku untuk tergabung dalam tim unifikasi tersebut. Jangan bayangkan saya sekeren teman-teman lain, saya hanya nimbrung lalu bersyukur sekali bisa merasakan langsung cinta yang menggelora pada dakwah dari tim unifikasi ini.
“Himsa, hari ini bisa datang syuro kan?” melalui sms dari Pak Ketua, saya memutuskan untuk datang ke DKM siang itu. Bismillah. Di sanalah semua persepsi dan ketidakpedulianku perlahan berubah. Mereka (teman-teman dari LDK 4 kampus) tampak begitu total membicarakan dan menyusun semua rancangan pembentukan LDK ini. Aku deg-degan serius. Allah, kenapa aku tak segelisah mereka? Kenapa aku tidak sesedih mereka jika dakwah berhenti? Saya mulai was-was dengan diri saya sendiri. Semangat mereka berkobar. Semakin membakar diriku. Daaan, ketika kita memutuskan untuk terjun berkontribusi, apa yang kita terima sebenarnya jauh lebih besar dari kontribusi kita.
Hingga Muktamar LDK Universitas Telkom dilaksanakan, saya semakin gemetar. Mengingat banyak sekali perjuangan kawan-kawan, mengingat saya yang tak berbuat banyak, mengingat saya yang beruntung terus diingatkan, mengingat apa yang telah terjadi selama tiga tahun lebih bergabung di lembaga dakwah. Sore ini, melalui sebuah pesan whatsapp, saya merinding mendengar bahwa LDK Universitas Telkom telah dibentuk melalui Muktamar LDK yang dilaksanakan pada 22-24 November 2013. LDK Al-Fath. Sebuah kemenangan.
Saya jadi ingat tiga setengah tahun lalu ketika pertama kali masuk Gamus (LDK IMT). Jujur, sama sekali saya tak berniat untuk aktif menjadi pengurus di dalamnya. Awalnya, saya bergabung karena menemukan kakak-kakak di organisasi itu. Karena mereka menerimaku dan menganggapku penting. Ketika mereka mengajakku untuk sama-sama belajar. Padahal kalau diingat, 2010 itu Himsa sedang dalam fase jadi orang yang paling nyebelin karena marah sama diri sendiri. Karena marah atas impian yang tak pernah kucoba. Karena marah kenapa saya harus di IMT bukan di UI. Saat itu perlahan saya sadar, Gamus mungkin adalah salah satu alasan kenapa saya ditempatkan di kampus ini. Dari Gamus, saya mengenal sebuah organisasi bernama Lembaga Dakwah Kampus, satu hal yang sama sekali tak pernah kupikirkan sebelumnya. Entah daya tarik seperti apa yang diatur Allah, Gamus menarik hati saya dan memperkenalkan saya pada kata ‘dakwah’. Ya, Gamus mungkin tidak sebesar Gamais atau Salam yang sudah luar biasa. Tapi justru karena itulah Gamus dapat menarik orang-orang seperti Himsa yang bandel ini. Hehe. Dan hari ini, ketika Muktamar LDK ini dilaksanakan, mau tidak mau sebuah perubahan harus terjadi. Bagaimana nasib Gamus selanjutnya? Hilangkah? Meleburkah? Menjadi satukah? Ganti namakah? Continue reading “#GamusStory Apakah Ini yang Terakhir?”