30 Hari Ngeblog Ramadhan, Mama Curhat, Mama Lyfe

Berdamai dengan Keterbatasan Diri

Fiuhhhh. Begitulah leganya aku ketika rumah sudah bersih, anak-anak tidur dan mereka sudah makan, semua urusan rumah beres dan target harianku selama puasa terpenuhi. Eh tunggu, terpenuhi?

Ternyataaaa, jauh, Pemirsa. Target bacaan Qur’an belum maksimal, hari ini gatot nulis sesuai tema, dan diuji banget dengan aktivitas anak-anak seharian. Rasanya kuingin marah melampiaskan tapi kuhanyalah sendiri di sini, lah malah nyanyi.

Tulisan ketiga hari ini harusnya ada temanya sesuai challenge yang aku ikuti. Iya, aku sedang mengikuti tantangan 30 hari menulis blog. Tidak tanggung-tanggung, aku mengikuti dua event dari dua komunitas sekaligus, dari @bloggerperempuan dan @bloggersumut. Terkadang satu tulisan bisa untuk dua event itu sekaligus, tapi jiwa perfeksionis dalam diriku sering memberontak ingin menulis dua topik yang berbeda. Apalagi untuk @bloggerperempuan temanya ditentukan.

Nah sayangnya, tema yang sudah kusiapkan untuk hari ketiga ini gagal aku eksekusi karena aku kehilangan struk pembelian produk yang akan diulas. Bete? Banget. Continue reading “Berdamai dengan Keterbatasan Diri”

Advertisement
Cerita dan Celoteh

Jakarta!

Saya tiba-tiba tidak tahu mau menulis apa. Padahal, tadi pas lagi nyuci banyak sekali ide yang mau saya tulis. Kalau sudah begini, saya tetap aja nulis asal, nanti juga ingat. Ah iya. Tentang Jakarta. Tentang mimpi. Tentang rindu. Tentang apa yang belum juga terlaksana. Tentang kejutan. Yap. Ini semua tentang rencana-Nya. Rencana-Nya yang seringkali tak sesuai apa yang kita terka. Tapi saya masih selalu percaya, apapun itu, rencana-Nya adalah yang terindah.

Suatu senja di Ancol. 9 April 2014.
Suatu senja di Ancol. 9 April 2014.

Jakarta, kota ini pun rencana-Nya untuk saya. Sejujurnya, saya hampir tidak pernah berencana untuk hidup di kota sebesar Jakarta—walaupun tidak juga terpikir untuk kembali ke kampung halaman. Bandung rasanya terlalu nyaman untuk saya. Barulah di akhir masa kuliah, Jakarta tetiba menjadi opsi.

“Kamu harus mencoba hidup dan tinggal di kota ini. kamu harus tahu bagaimana orang-orang di sini berjuang untuk bertahan hidup. Segala paradoksnya. Segala ceritanya. At least you have to try.” Kata Mas Ega nulisbuku.com, narasumber utama skripsi saya, usai wawancara.

Saat itu pun saya masih belum terpikir apa-apa. Saya masih belum tahu bagaimana perjalanan hidup saya setelah lulus kuliah. Bahkan di buku impian saya, rencana-rencana saya hanya tertulis sampai bulan Maret. Setelah wisuda, saya benar-benar tidak tahu apa yang akan saya lakukan. Saya tidak berani menerka-nerka apa yang akan terjadi. Walaupun hati saya tahu apa impian saya sebenarnya.

Di tengah berbagai kegalauan pasca dinyatakan lulus 30 Januari lalu, saya masih ingat saya menulis ini,

“Kalau pun saya harus kerja, saya ingin kerja di dunia penerbitan buku. Saya ingin sekolah lagi. Ah, sudahlah. Itu hanya rencana, dan tetap Allah yang menentukan. Saya bahkan tidak tahu kalau besok tiba-tiba saya malah kerja kantoran. Tapi mimpi saya sebenarnya ya: Menulis. Menulis. Menulis. Mencari ilmu. Berbagi sebanyak-banyaknya. (kan kalau mimpi jadi ibu rumah tangga professional harus jadi Ibu, jadi ya sebelum diberi Allah kesempatan untuk jadi ibu, mengembangkan diri dulu kan? Memperbaiki diri dan bermanfaat semaksimal mungkin).” (Melompat Lebih Tinggi, Januari 2014)

Ketika membaca potongan mimpi di atas, saya sempat kecewa sebentar. “Kok aku nggak mewujudkan mimpiku sendiri sih?” Tapi kemudian, saya lebih banyak bersyukur. Continue reading “Jakarta!”