30 Hari Ngeblog Ramadhan, Mama Curhat, Mama Lyfe

Berdamai dengan Keterbatasan Diri

Fiuhhhh. Begitulah leganya aku ketika rumah sudah bersih, anak-anak tidur dan mereka sudah makan, semua urusan rumah beres dan target harianku selama puasa terpenuhi. Eh tunggu, terpenuhi?

Ternyataaaa, jauh, Pemirsa. Target bacaan Qur’an belum maksimal, hari ini gatot nulis sesuai tema, dan diuji banget dengan aktivitas anak-anak seharian. Rasanya kuingin marah melampiaskan tapi kuhanyalah sendiri di sini, lah malah nyanyi.

Tulisan ketiga hari ini harusnya ada temanya sesuai challenge yang aku ikuti. Iya, aku sedang mengikuti tantangan 30 hari menulis blog. Tidak tanggung-tanggung, aku mengikuti dua event dari dua komunitas sekaligus, dari @bloggerperempuan dan @bloggersumut. Terkadang satu tulisan bisa untuk dua event itu sekaligus, tapi jiwa perfeksionis dalam diriku sering memberontak ingin menulis dua topik yang berbeda. Apalagi untuk @bloggerperempuan temanya ditentukan.

Nah sayangnya, tema yang sudah kusiapkan untuk hari ketiga ini gagal aku eksekusi karena aku kehilangan struk pembelian produk yang akan diulas. Bete? Banget. Continue reading “Berdamai dengan Keterbatasan Diri”

Advertisement
Cerita dan Celoteh

Menulis dan Ketulusan

“Mas, aku ngerasa jadi manusia nggak bermanfaat. Dulu, aku bisa nulis banyak. Udah beberapa hari kayak mandeg. Susah banget tiap mau nulis. Padahal kalau misalnya ngobrol gini bisa menyampaikan. Tapi kok kalau mau nulis susah ya?”
Keluhku melalui telepon.
“Aku punya ide, Mas.” Lanjutku.
“Hmm, apa?”
“Bikin perjanjian ya, jangan telepon aku sampai minimal aku bisa beresin satu tulisan atau satu bab novelku.”
Aku sedikit berat mengatakannya. Untuk pasangan LDR seperti kita, itu namanya bukan hukuman untukku, tapi hukuman untuk kita berdua.
“Nggak mau, ah.” Katanya cepat menanggapi usulku. Continue reading “Menulis dan Ketulusan”

Cerita dan Celoteh

Jeda

Hari ini, jadwalnya saya post tulisan baru di blog. Tapi karena beberapa hari terakhir menulis terus tanpa asupan gizi tinta, akhirnya teko imajinasi saya kosong. Ya, bagiku, menulis adalah semacam menuangkan isi teko. Teko, adalah ibarat otak dan hati kita yang diisi berbagai jenis ilmu, mulai dari bacaan, kepekaan pada lingkungan, bepergian, hikmah film, kejadian, cerita sahabat, dan lain-lain. Dan menulis, adalah menuangkan semua itu ke dalam gelas-gelas untuk dibagi kepada orang banyak, agar isi teko itu tidak meluber.

Sampai detik saya mengetik ini, saya punya dua cerpen yang sudah jadi malam ini. Tapi entahlah, rasanya ada yang kurang sehingga bagi saya cerpen itu belum layak baca. Ada yang kurang. Dan saya tahu, sudah lima hari ini saya belum baca buku lagi. Begitulah, menulis tanpa membaca adalah seperti mau sms tapi tidak punya pulsa. Ada yang mau disampaikan tapi tidak sampai.

Bukankah mereka yang punya cita-cita menjadi penulis tapi tak membaca satu buku pun dalam satu minggu lebih baik melupakan cita-cita mereka untuk menjadi penulis?

Atas nama tekad saya untuk konsisten update satu cerita dua hari sekali, saya menulis cerita pengakuan ini. Semoga adanya tekad kuat tersebut tidak membuat saya menulis tanpa rasa. Bagaimanapun, menulis, adalah juga tentang suatu proses menyampaikan rasa.

Maka karena itulah, saya memutuskan untuk jeda. Ada banyak buku yang meminta untuk dibunyikan halaman-halamannya.

Sampai bertemu lagi. Pre-order buku pertama “EPHEMERA” masih terus disiapkan. Terima kasih yang sudah email atau message ya! 🙂 Continue reading “Jeda”

Cerita dan Celoteh

Catatan Siang Seorang Pejuang Passion

Ketika kita sudah memutuskan untuk tidak mengambil jalan yang diambil oleh orang lain pada umumnya, artinya kita pun harus siap menanggung diri untuk meningkatkan kapabilitas kita dalam melewati jalan yang kita pilih sendiri. Jangan pernah lelah, mungkin mereka sudah menikmati jalan mereka. Dan kita, masih mencari kendaraan yang tepat agar tetap berada di jalan kita. Jangan merasa kecil, apalagi menyerah. Setidaknya kita hanya perlu terus berjalan. Walaupun tersandung. Walaupun mungkin harus berbelok dulu. Walaupun mungkin lebih terjal dari jalan lainnya. Jangan pernah menyerah. Para pejuang passion akan tetap bahagia di jalan ini untuk meraih kebahagiaan hakiki. Selagi kita terus berjalan, dan tidak keluar dari jalan yang telah kita pilih, insyaAllah petunjuk akan terus terbuka. Ya, selama kita pun percaya Dia.

image

Continue reading “Catatan Siang Seorang Pejuang Passion”

Cerita Fiksi

Cermin

“Aku kesusahan menulis.”
“Ha? Kenapa? Kau kehilangan inspirasi?”
Kamu menggeleng. Aku tahu persis kepergianku tak berpengaruh banyak bagimu. Sudah pernah kubilang, kamu itu biru bahkan ketika tanpaku. Tapi kenapa kamu tetiba kesulitan menulis? Hei, bukankah menulis itu duniamu?
“Kamu kenapa? Maafkan aku karena memilih pergi.”
Kamu diam saja.
“Kamu sungguh tidak kehilangan inspirasi kan?”
“Kamu berlebihan..” akhirnya kamu bicara.
“Maksudnya?”
“Aku sudah bilang dengan tulus dan jujur. Ini semua bukan karena kepergianmu. Aku sudah bilang kan? Aku bahagia dengan itu. Juga bukan soal inspirasi yang hilang. Dunia ini milik Tuhan. Inspirasi itu milik-Nya bukan milikmu, jadi tak ada hubungannya sekali pun kamu memilih pergi. Begini jauh lebih baik.”
“Baiklah. Lalu kenapa kamu sulit menulis?”
Kamu tertawa lagi, “aku berhenti menulis karena terlalu banyak melamun.”
Kali ini aku memilih diam, menunggu kalimat selanjutnya darimu.
Continue reading “Cermin”

Cerita dan Celoteh

Menulis Masa Lalu

Di tengah serunya diskusi dengan Rhein Fathia di Nulis Buku Club kemarin (13/ 7), aku memberanikan diri mengajukan pertanyaan tentang sesuatu yang paling sering menggangguku dalam proses menulis.
“Dalam setiap proses menulis, saya yakin, selalu saja ada kenangan atau masa lalu yang menjadi inspirasi. Nah masalahnya, ketika hendak menuliskan cerita itu, rasanya ada setrum yang bikin lemes gitu. Walaupun sudah berdamai dan memaafkan masa lalu, tetap saja mengingatnya itu seperti membuka ingatan menyakitkan. Bagaimana caranya tetap menulis suatu kisah masa lalu yang menyakitkan dengan kendala-kendala seperti itu?”, tanyaku panjang lebar.
Teh Rhein menjawab dengan ‘pedas’ namun sangat kusukai.
Continue reading “Menulis Masa Lalu”

Cerita Fiksi

23:32

23:32
23:32

“Tapi aku sudah memutuskan untuk berhenti.”
“Lalu dengan berhenti kamu akan punya mimpi baru?”
“Tidak, aku hanya ingin lebih realistis, Ray. Kita sudah bukan remaja enam belas tahun lagi, bukan saatnya untuk bermimpi.”
“Baiklah. Malam ini, pukul 23.32, kamu mungkin akan mengerti.”
Ray berdiri. Matahari masih sangat muda, bahkan belum bulat utuh. Sepagi itu, kamu sudah datang, lalu pergi empat menit kemudian. Kursi kayu yang masih basah berembun ini kini hanya tinggal aku yang menduduki. Harusnya kita berbicara lebih lama lagi. Duduk manis sembari berceloteh tentang kenangan. Atau tentang dua tahun tujuh bulan yang kita lalui dalam keterpisahan.

***

Aku terlelap lebih dahulu, belum sempat menunggu pukul 23.32 seperti yang kamu katakan, Ray. Ah, tidak, lebih tepatnya aku sengaja tidur cepat. Aku tahu, 23.32 tidak lebih dari sekadar jam. Tidak akan terjadi apa-apa. Aku tahu betul tabiatmu itu, Ray. Walaupun umurmu sekarang sudah 22, nyatanya kamu masih tidak juga berubah. Laki-laki pemimpi yang terlalu idealis. Sekarang pukul 23.47, aku terbangun. Entah kenapa, walaupun tidak percaya, ternyata aku penasaran juga.
Aku tahu jam dinding biru yang diam di sebelah barat kamarku sekarang menertawakanku. Rasanya aku ingin berbicara padanya, apa yang terjadi 15 menit lalu? Tapi aku tidak mau jadi pemimpi bodoh lagi. Maka, kuputuskan untuk menarik lagi selimut bermotif daun yang tebalnya sampai 1,5 cm ini. Tidur. Tapi..
“Sudah berapa buku?”
“Empat.”
“Sudah kamu kirim ke penerbit?”
“Sudah dibakar Ayah.”
“Soft-file-nya?”
“Untuk apa? Lebih baik aku fokus pada tugas akhirku yang tak kunjung selesai saja, Ray.”
“Kamu ini kenapa Nadia? Kamu sudah ingin berhenti menulis?”
“Aku akan jadi dokter, bukan penulis novel.”
“Kamu bisa jadi dua-duanya.”
Sisa-sisa pembicaraan denganmu tadi pagi menggema. Ray, kenapa kamu memarahiku? Kumohon biarkan saja aku seperti ini. Aku tidak akan pernah bisa jadi dua-duanya kalau aku memilihmu.

***

Pagi ini, aku ingin menemuimu, Ray. Bukan untuk membicarakan kenangan kita. Bukan juga untuk mengurai rindu atas keterpisahan yang kita alami. Bukan pula ingin bertanya ini itu tentang tiga novel best seller-mu yang terbit mendahului novelku. Entahlah, sejak lima menit lalu, aku hanya duduk di kursi plastik berwarna biru yang bertengger manis di beranda rumahmu. Beruntung, kamu sempat mendengar suara sepatuku. Continue reading “23:32”

Cerita dan Celoteh

Telah Lahir Anak Saya Bernama…

“Karyamu itu anakmu. Ketika kamu menelurkan sebuah karya artinya kamu sedang melahirkan seorang anak. Rawat karyamu baik-baik. Dan teruslah berkarya.”

Saya jadi ingat, salah satu guru Bahasa Indonesia saya sewaktu SMP pernah mengatakan demikian. Kurang lebih begitu yang beliau katakan saat itu. Tentu saja kalimat di atas tidak persis, saya belum punya inisiatif untuk merekam di hp waktu SMP (belum punya hape yang bisa ngrekam lebih tepatnya). Hehe. Tapi otak saya merekam, sampai sekarang.

Namanya Pak Haryono, seorang guru yang setahun mengajarku di kelas dan hampir tiga tahun membimbing di tim redaksi majalah sekolah “Eksis” serta buletin “INFO 3”. Dulu, ketika beliau mengatakannya, saya cuma manggut-manggut saja. Sekarang, saya merasakan susahnya melahirkan seorang ‘anak‘ tersebut. Ya, analogi anak dan karya itu rasanya tepat sekali setelah saya mengalami cerita ini. Continue reading “Telah Lahir Anak Saya Bernama…”

GAMUS, IMSS 2012

Membicarakan Mas Gagah Bersama Bunda Helvy (H #3 IMSS)

Dari rumah cantik Annisa, aku berpindah ke aula barat ITB. Masih di hari yang sama, 17 Juli 2012. Siapa yang menyangka? Baru seminggu yang lalu, aku menemukan web Bunda helvy dan jatuh cinta seketika dengan karya-karyanya. Aku memang mengetahui beliau sudah sejak lama, tapi baru lima hari yang lalu aku membaca cerpen-cerpen beliau, selain “Ketika Mas Gagah Pergi” tentunya. Dan hari ini, Allah memberiku kesempatan untuk duduk di kursi paling depan, mendengarkan beliau bercerita tentang karya-karya beliau.

Talkshow tentang Mas Gagah bersama Bunda Helvy di Aula Barat ITB

Talkshow bedah buku bertajuk “Ketika Mas Gagah Pergi dan Kembali dan Upaya Pembentukan Karakter Pemuda melalui Sastra” ini dimulai sekitar pukul 10.00 WIB dan dibuka dengan video testimoni tentang buku “Ketika Mas Gagah Pergi dan Kembali”. Continue reading “Membicarakan Mas Gagah Bersama Bunda Helvy (H #3 IMSS)”

Cerita dan Celoteh

Blog Walking

Membaca adalah salah satu jurus ampuh untuk meningkatkan energi menulis.

Hari ini saya melakukan blog walking. Membaca blog teman-teman. Membaca tulisan-tulisan mereka. Kadang tertawa sendiri, kadang juga merenung. Ya, melalui tulisan mereka, saya bisa melihat mereka dari sisi yang berbeda. Dan itu sungguh menyenangkan.

Menulis memang sesuatu yang sangat unik ya. Terkadang seseorang hanya ingin menulis, melepaskan logika dalam akalnya, menyampaikan rasa dalam hatinya. Kadang tidak peduli akan sebuah makna. Tapi tanpa mereka sadar, saat itulah justru para pembaca mendapat makna dari apa yang mereka tuliskan. Entah makna yang seperti apa. Aku selalu menyebutnya, undefinedthings. Sungguh, menulis seperti itu sangat menyenangkan.

Kalau boleh mengkopi tulisan salah seorang teman dalam blognya, ia menulis seperti ini:

“Merasa lepas saat menulis, tak berpikir logika ini menolak atau menerima. Langkahkan jari diatas tuts2 hitam dengan label putih. Layar pun terisi dengan bongkahan bongkahan huruf yang tak bermakna. Entah menyampaikan pesan atau tidak, tapi inilah rasanya lepas. Tak perlu banyak pertimbangan. Just go ahead, hidup ini pun terasa lebih ringan.” cahmaths.wordpress.com

Ahaa, terima kasih, Kawan. Tulisanmu itu mengingatkanku untuk terus menulis selepas mungkin, apapun isinya, tak perlu banyak pertimbangan. Benar pula kata Bang Tere. Tuliskan saja, karena siapa tahu, di ujung sana, atau di belahan sana, ada seseorang yang bangkit dari sedihnya karena membaca tulisan kita. Tuliskan saja, walaupun bagimu itu tidak penting, sungguh sangat mungkin akan ada seseorang yang tersenyum ketika membaca kalimat demi kalimat yang kita tulis. Tuliskan saja. Tak usah pedulikan jumlah pengunjung, pembaca, like, komentar, dan teman-temannya. Tuliskan saja. Just go ahead..

Tetangga Langit,

7 Februari 2012

7.59 WHH (Waktu Hape Himsa)