Aaah, sudah sebulan lebih ternyata sejak kepulangan dari Istanbul, tapi cerita indah itu tak sempat tertuang. Maka, sebelum cerita ini akan semakin usang, izinkanlah penaku kembali mengukir apa yang terkenang. Tak ada kata terlambat. Suatu saat nanti, kalau anak saya tanya, “Mama gimana ceritanya pas di Istanbul?”. Aku akan bilang, “Ini, Nak.” *ngekhayal* Lupakan, cerita ini adalah oleh-oleh yang semoga membuat siapapun yang membacanya jadi makin semangat untuk menggapai impian 🙂
Baiklah, saya kebiasaan bermukadimah lama-lama, maafkan. Yuk terbang ke Istanbul sama Himsa.. Sebelumnya, boleh baca dulu cerita sebelum Himsa terbang di kisah mimpi no. 20. Mari terbaaaaang.. ^^
***
Bandung, 22 Oktober 2013
Bandung siang hari itu tidak panas, tidak juga hujan. Mendung. Suasana yang cukup bersahabat untuk aku dan Haning menyusuri setiap sudut kota guna mempersiapkan segala persiapan keberangkatan. Seperti sudah saya ceritakan sebelumnya, perjalanan ke Turki ini merupakan perjalanan pertama ke luar negeri baik untuk saya maupun Haning. Kami sibuk belanja perlengkapan logistik, mulai dari Indomie, cemilan, susu, sampai perlengkapan mandi serta keperluan pribadi lainnya. Kami sengaja membawa banyak perlengkapan mengingat cerita teman bahwa lidah orang Indonesia tidak suka makanan luar negeri. Haha. Selanjutnya kami tahu, pergi ke Turki tak perlu bawa banyak makanan. Aduh bagaimana lah, makanan Turki ternyata enak-enak dan porsi besar lagi. Serunya, makanan yang kami bawa dari Indonesia ternyata bermanfaat sekali untuk mahasiswa Indonesia yang tinggal di sana. Melepas rindu, kata mereka. Aah, masih kebayang wajah bahagia seorang teman ketika melihat kami membawa Teh Kotak. 😀
Setelah segala perlengkapan kami rasa cukup, kami beralih ke daerah Sukajadi untuk menukarkan uang dari rupiah ke Lira. Susah sekali ternyata mencari mata uang TL (Turkish Lira) di Money Changer. Tidak semuanya punya. Karena terlalu bersemangat, sisa uang yang kami punya kami tukarkan semua ke Lira, takut di sana kehabisan uang. Haha. Satu pelajaran penting. Kalau mau ke luar negeri yang mata uangnya susah ditemukan seperti Lira, sebaiknya bawa uang Dollar atau Euro saja. Nanti di sana, semua money changer menerima penukaran mata uang tersebut. Selain itu, nilai tukar kembali ke rupiahnya pun tidak terlalu jatuh. Santai aja, untuk negara dengan pesona pariwisata macam Turki, money changer tersebar di mana-mana.
Sore hari, Bandung ternyata bersahabat dengan langit untuk menurunkan hujan. Baiklah, mau tidak mau hujan harus kami terjang mengingat pukul 19.30 kami sudah harus siap di pool travel untuk menuju Bekasi. Alhamdulillah, walaupun sedikit kehujanan dan buru-buru, kami berangkat ke Bekasi dengan selamat. Terima kasih Winda dan Feni yang mengantar, yang super tangguh bawa koper-koper kami 😀
Cengkareng, 23 Oktober 2013
Sore hari, sekitar pukul 16.00, kami sudah siap. Diantar oleh orang tua Haning, dan dengan mengucap bismillah, kami berangkat menuju Bandara Soekarno Hatta. Alhamdulillah, setelah melewati macet, sekitar pukul 19.30 kami sampai di Terminal 2D. Yeah, waktu semakin dekat.

Oh ya, perjalanan kami tidak berdua saja. Kami berangkat berempat: saya, haning, Kak Sukma dan Anpio. Kak Sukma juga satu dari enam undangan yang diundang untuk mempresentasikan paper di acara DEYS 2013, ia merupakan seorang fresh graduate dari FISIP UI. Seorang lagi, Anpio, adalah siswa tangguh kelas XII dari sebuah SMA di Lampung, ia juga diudang karena abstract-nya terpilih sehingga ia diundang untuk menjadi bagian dari konferensi ini. Ada kejadian menarik antara saya dan Anpio. Karena sebelumnya kami hanya berkomunikasi via message fb, maka kami saling tidak tahu wajah kami. Nah, ceritanya Anpio telepon saya pas udah di bandara. Continue reading “Turkey Story #1 (Before Istanbul)” →