Sungguh tidak terasa, hari ini sudah satu bulan lewat satu hari saya tinggal di kota ini. Sudah resmi dua hari pula saya pindah. Iya, saya memilih untuk pindah dari tempat tinggal saya sebelumnya yang bisa dibilang sudah super nyaman. AC, kamar mandi air panas, baju dicuciin, disetrikain, kalau mau nyuci ada mesin cuci, dekat juga dari kantor, dekat mall, pasar, dan berbagai fasilitas umum lainnya. Tapi entahlah. Hati saya tidak nyaman. Selain tentu saja karena harganya yang mahal (hahaha), saya merasakan sekali kenyamanan itu melenakan. Saya susah menulis. Dan inilah saya sekarang. Memilih pindah. Menikmati busway dari pagi dan berjumpa lagi malam hari. Saya tidak tahu entah akan bertahan berapa lama. Tapi berangkat pagi dan berdiri di bus menurut saya jauh lebih bermanfaat daripada menerima panggilan bantal untuk memeluknya lagi karena jam masuk kantor masih lama (baca: tidur lagi). Dan lagi, saya menikmati membaca dan menulis di atas bus. Like I do now. Baiklah, saya kumat ya? Mukadimahnya kepanjangan. Hehehe. But one thing you can get from this opening is: betapa kesusahan seringkali lebih menimbulkan hasrat untuk berkarya lebih dan lebih. Dan kenyamanan adalah pisau, yang kalau kita tak memanfaatkannya dengan baik, ia akan tumpul atau pun jika tajam, ia tak segan membunuhmu.
Baiklah, berbicara soal kenyamanan, saya jadi ingin kembali fokus pada cerita hikmah yang ingin saya share malam ini. Lagi, tentang mimpi. Hari ini, dengan segala suka duka menjadi seorang pekerja kantoran, saya menyempatkan diri merenung. Apa benar bahwa ini adalah jalan menuju impian saya? Saya terdiam lama. Sebulan. Akhirnya saya menyadari bahwa memang bekerja sungguh bukanlah zona nyaman saya. Continue reading “Jakarta! (2)”