Ceritanya baru aja nonton film “A Little Thing Called Love” makanya jadi agak terpengaruh gitu ke judul tulisan ini. Haha. Ke mane aje lu, Hims, hari gini baru nonton tuh film? Santai aja kelees (gaya Feni), gue kan nggak hobi film kecuali disodorin atau ada novel kesukaan yang difilm-in. Hehe. Nah, apa hubungan antara film itu dan tulisan ini? Nggak ada sih, biar keren aja (Gubrak!). Ya intinya saya nggak ngobrolin tentang “love” tapi “kepo” walaupun “kepo” dan “love” sebenarnya saling berhubungan. Nah lho? Sabar. Baca dulu ocehan tidak jelas saya ini sampai selesai 😀 Walaupun–lagi-lagi–tulisan ini akan jadi random sekali. Otak saya masih dalam posisi randomisasi tingkat tinggi yang artinya nggak bisa diajak skripsian. Jadi, daripada saya nggak produktif, saya ngerandom aja di sini ya 😛
Hmm, sudah pernah saya singgung sebelumnya sih, saya sering merasa orang zaman sekarang malas peduli karena malas dibilang kepo. Mungkin juga saya. Jadi, ketika kita ketahuan kepo-in seseorang jadinya malu. Padahal mah nggak apa-apa. Bukan semua yang kepo berarti ada apa-apa kan? Kepo itu tanda sayang. Tapi kalau dikepoin juga nggak usah kegeeran macam-macam dan mengartikan sayang yang gimana-gimana. Apalagi perempuan, saya sudah bilang berkali-kali, nggak usah melayang-layang, nanti jatuh kalau sakit. Tapi juga nggak usah kepo-in yang nggak penting juga, nanti sakit hati. Pengalaman ya, Hims?
Keep calm aja Bro Sist. Keep kepo! Karena menurut saya kepo itu perlu. Continue reading “A Little Thing Called “KEPO””