Sebagai pembaca blog azharologia.com dari ketika postingannya masih belasan sampai sekarang sudah menjelma menjadi tiga buku, rasa-rasanya belum seru kalau saya belum membuat review buku Azhar Nurun Ala di blog ini. Hehehe. Dan Seribu Wajah Ayah, entah kenapa spontan mendorong saya untuk menulis ini. Buku yang sangat layak dibaca siapapun, kapanpun, berkali-kali.
“Selalu ada hal yang lebih bijak dari mengenang: membuat cerita baru yang lebih indah.”
Begitu kata Azhar menutup SWA. Dari semua tulisan Azhar, rasa-rasanya kutipan di ataslah yang paling saya sukai. Kalimat itu (kalau saya tidak salah ingat) juga ada di semua buku Azhar. Kalimat sederhana tapi bermakna dalam. Bagi saya, penutup ini berhasil membuat kita berhenti merutuki masa lalu atau terlena menikmati kenangan. Karena bagaimanapun, kenangan adalah ruang terjauh yang tak dapat kita jangkau, sedang masa depan selalu ada di depan mata kita setiap detiknya, siap kita sambut dengan cerita baru.
Selain penutupnya yang menarik, sebenarnya, sepanjang halaman buku ini pun sudah menawarkan seribu kontemplasi bagi pembacanya. Jujur saja, saya sempat salah terka, saya kira buku ini akan becerita tentang perjuangan dramatis seorang ayah dalam membesarkan anaknya. Ternyata, Azhar membungkusnya dengan kemasan berbeda. Kisah dramatis itu diramu sedemikian rupa menjadi sederhana ke dalam sebelas foto kenangan yang berisi beragam cerita kehidupan penuh makna. Walaupun sosok ayah di novel ini digambarkan telah tiada, saya rasa Azhar berhasil membuat si tokoh ayah selalu hidup—melalui nasihat-nasihatnya. Sosok Ayah menjelma ke dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari penerimaan takdir, cinta, waktu, cita-cita, pendidikan anak bahkan tauhid.
Kalau boleh sedikit membandingkan, membaca novel ini mengingatkan saya pada ‘Sabtu Bersama Bapak’-nya Adhitya Mulya. Hanya saja, Adhitya membuat sang ayah selalu hidup melalui nasihat yang direkam menjadi video-video. Sementara Azhar, menghidupkan tokoh ayah melalui foto-foto yang bertransformasi menjadi rentetan renungan. Walaupun berbeda gaya penyampaian, kedua novel ini sama-sama menawarkan beragam nasihat kehidupan. Continue reading “Seribu Wajah Ayah: Seribu Kontemplasi”