Suatu hari kita berbicara tentang keberuntungan dan perjuangan. Banyak hal. Aku bercerita tentang perjuanganku menghadapi masa-masa sulit dalam menyelesaikan pendidikan. Kamu pun begitu. Kamu selingi dengan cerita kesuksesan kawan-kawan dekatmu.
Kemudian kamu tertawa karena menyadari betapa sangat jauh keberuntungan darimu. Ya, keberuntungan yang didefinisikan secara umum.
“Kalau ada lucky draw atau undian berhadiah atau doorprize, aku hampir tidak pernah menang.”
Aku yang saat itu mendengarkanmu bercerita sambil ngepel tertawa dalam hati, “kalau istrimu ini Miss Doorprize, Mas. Harus dapat doorprize dalam acara apapun.” Aku tersenyum mengingat semangatku saat mengikuti suatu seminar. Rajin duduk di depan dan paling semangat saat ikut games atau aktif bertanya pada sesi pertanyaan.
Kemudian kamu tersenyum lagi, aku masih mengepel. “Tapi bukan keberuntungan seperti itu yang diberikan Allah untukku. Ternyata banyak sekali keberuntungan dalam hidupku yang harus disyukuri.”
Aku masih mengepel, kali ini kuhentikan sebentar untuk tersenyum ke arahmu, “Iya, Mas. Kalau kita bersyukur kan kita sedang beruntung?”
Kamu merebahkan dirimu di sofa, dan aku masih mengepel. Itu aturanku, hehehe. Tidak boleh ada kaki menginjak lantai saat aku mengepel sampai lantai kering. Dan kamu tak pernah protes, malah sering tersenyum saat melihatku membawa alat pel. Kamu sadar harus segera angkat kaki dari nikmatnya gelosoran di lantai.
“Mendapatkan kamu adalah keberuntungan besar buat Mas.” Gumammu. Aku sedikit tersentak. Sebenarnya aku deg-degan, tapi menutupinya dengan tertawa. Continue reading “Kamu dan Keberuntungan”
Tag: rindu
Kepada Pagi
Aku pernah duduk sengaja menikmati bulan, seakan menghambat pagi yang sudah ditandai fajar. Aku pernah duduk berlama bernegosiasi pada matahari agar terlambat terbit. Demi romansa malam. Aku pernah duduk menangisi malam yang berlalu. Tapi tolonglah, setelah aku mengenal pagi, aku selalu menunggunya lagi. Menunggu burung-burung berkicau, embun-embun mengenyahkan dahaga, adzan subuh yang menenteramkan, hingga segelas teh hangat yang mencairkan cinta.
Maka kepadamu pagi yang harus kutunggu lagi, aku tetap di sini. Menantimu dengan senyum berbalut air mata rindu. Menunggumu dengan semangat mengapi untuk menyalakan kobar kehidupan yang penuh makna. Semoga.
Maka kepadamu pagi, kutitipkan rindu yang menggantung di langit-langit malam. Kuucapkan doa yang mengerjap di antara kerlip bintang. Kunadakan cinta di antara senyap yang menyiksaku. Kepadamu pagi. Dengan mataharimu. Dengan cintamu yang tak hanya membuatku berani berjalan menatap siang, tapi juga senyuman menikmati malam yang senyap.
Maka kepadamu pagi, kubiarkan rindu menjadi jalan untuk ridlo-Nya.
Kepada Bulan
Kepada bulan yang pernah menertawai air mata, kusampaikan maaf karena aku beranjak. Bukan karena tak setia, tapi karena matahari sudah bersinar. Apakah aku harus menunggu malam lagi seperti kemarin-kemarin? Menolak lagi hadirnya pagi. Meski kamu tak pernah datang juga.
Kepada bulan yang juga pernah ikut menangis, kusampaikan rindu yang masih mengendap. Mengerjap. Bersembunyi di balik sinar mentari. Pagi telah datang. Tapi tak bolehkah aku merindui malam? Seperti kemarin. Seperti ribuan malam sebelum ini. Saat aku terduduk menatap bulan. Meskipun kamu tak pernah ada.
Pagi telah datang. Aku telah beranjak. Dan bulan baru saja mengabariku, kamu akhirnya datang. Dan aku, baru saja beranjak meninggalkan malam.
Piala Dunia
Hasna pulang. Ia kembali meninggalkan Jogjakarta, meninggalkan separuh hatinya yang empat tahun masih bertanya. Aku tahu persis rasanya menjadi dia. Aku tahu rasanya tak dipercaya ketika mengatakan “sudah move on” karena memang raut mukaku pun bercerita bahwa aku sedang berbohong. Sebagaimana wajahnya ketika ia mengatakan bahwa ia sudah melupakan Hafiz, cinta pertamanya yang menumbuh dalam diam. Ya, karena aku pun merasakannya.
“Sebentar lagi, piala dunia ya?” Katanya sebelum pamit.
“Ha? Kenapa?” Aku, yang tak pernah mengikuti perkembangan dunia sepak bola, sama sekali tidak mengerti maksud Hasna memulai pembicaraan tentang bola padaku.
Dear, Kamu
Aku tetiba amat merindukanmu. Merindukan sebentuk bola mata yang hanya dengan menatapku lekat seperti mampu menghapus semua sakit. Aku tetiba amat merindukanmu. Merindukan sebentuk bahu bidang yang hanya kusandari seperti mampu membuatku memiliki dunia. Aku tetiba amat merindukanmu. Merindukan sebentuk pesan yang walaupun singkat tanpa rima seperti mampu membuat hati ini terus kuat. Aku tetiba amat merindukanmu. Merindukan sesosok senyum sederhana tapi mampu membuatku mengingat penciptanya. Sayangnya, aku bahkan tak tahu siapa kamu.
Continue reading “Dear, Kamu”
Lembayung Bali
Tidak ada yang meragukan keceriaanmu. Bahkan aku yakin tak ada yang mampu menemukan fotomu tanpa gigimu berjajar rapi. Ciri khas senyummu. Rambutmu yang pendek gaya “dora” atau yang kadang-kadang dikuncir dua adalah ciri khas kepolosanmu. Aku sering membenak dalam hati apa yang kaukuncir dari rambut yang sangat pendek itu? Belum lagi buku-buku tebalmu, mengapa kaubawa setiap hari di sekolah? Aku kadang mengasihani tubuh kurusmu yang harus memikul beban buku-buku itu. Tapi itulah kamu. Bukan culun. Kamu hanya sedikit ‘berbeda’ dari yang lain.
Entahlah. Aku baru menyadari bahwa aku masih bisa mendeskripsikanmu dengan jelas setelah empat tahun waktu seakan menelan cerita. Ah, bukan menelan. Rasanya masih tersedak di tenggorokan. Apa kabarmu? Apakah kamu juga tersedak? Continue reading “Lembayung Bali”
Menjadi Alumni
Dulu sekali, saat masih memegang amanah di organisasi, saya sering merindukan para alumni. Terlebih saat tahun terakhir kepengurusan, saat kita menjadi “kakak tertua” dan mereka yang kita panggil “kakak” telah pergi ke berbagai belahan kota untuk melanjutkan kehidupan masing-masing. Ingin rasanya bercerita kepada mereka saat adik-adik mengeluh atau saat masalah yang kami hadapi terasa begitu berat. Ingin sekali mereka ada seperti dulu saat kami masih menjadi staf. Dibimbing, diajari, walaupun tak jarang dikritik. Melalui pesan whatsapp, sms, atau media apapun, tak jarang pesan ini terucap, “Teteeeeh/Kakaaak kapan ke Bandung? :(” lengkap dengan emoticon sedih. Bukan sedih yang dibuat, apa adanya.
Saya ingat sekali di akhir kepengurusan, kami mengalami banyak problem. Walaupun hanya melalui telepon, mereka bersedia mendengarkan cerita kami. Entah bagaimana cara mereka meluangkan waktu. Tapi didengarkan dan dinasihati begitu terasa menenteramkan. Bahkan mereka pun menghubungi kami, menawarkan solusi, walaupun raga mereka tak dapat hadir. Begitulah, para alumni adalah kakak yang akan selalu dirindukan. Tak jarang kerinduan itu kadang begitu egois.
Ya, dulu sekali, saya selalu berharap alumni masih dan akan selalu ada di sekitar kami. Meluangkan segenap jiwa untuk kami. Saya lupa bahwa kehidupan berputar. Dan sekarang, putaran itu pun membuatku sampai di titik ini: menjadi alumni. Continue reading “Menjadi Alumni”
Pertemuan
Siapa bilang pertemuan itu membunuh rindu? Ia hanya melipatgandakannya lalu diam-diam menikammu dari belakang. Kamu terhunus dalam bahagia. Lalu kamu menahan tangismu setelah ia kembali pergi. Kamu ingin hari itu berjalan lebih dari 24 jam. Tapi kamu pura-pura tersenyum. Punggungnya menyapamu untuk terakhir kali sebelum tubuhnya tak menyisakan bayangan. Kamu seperti bermimpi. Tapi itu nyata.
Ah, mereka bilang pertemuan itu pangkal rindu. Tapi bagimu ia tunas untuk lahirnya rindu-rindu yang terus bereplika. Kamu sempat lupa bahwa pertemuan bukan berarti harapanmu boleh tumbuh. Ah, kamu protes. Apakah bahagia tak juga diizinkan? Kamu hanya bahagia karena mimpimu menjadi kenyataan dalam sekejap. Kamu hanya teringat tahun-tahun sebelum hari itu, pertemuan macam itu harus kamu bayar dengan sebuah kekecawaan ketika kamu terbangun. Hanya mimpi.
Kamu tak peduli lagi apa kata mereka tentang pertemuan. Kamu hanya tahu, pertemuan itu membahagiakanmu walaupun di saat bersamaan menikammu. Walaupun harus dibayar dengan rasa sesak melihatnya kembali pergi, pertemuan tetaplah hadiah bagimu. Walaupun harus membunuh harapan yang diam-diam menumbuh, pertemuan tetap saja jawabanmu atas berbagai harapan. Walaupun harus memeras lagi air matamu oleh lipatan rindu, pertemuan tetap saja pengukir senyum yang terlalu lama kamu nanti. Continue reading “Pertemuan”
Kakak
Kak, gerimis senja tadi sore masih mengurai namamu
Denting jam menuju pukul sebelas masih mengarah padamu
Bisik nasihat Ibu berkali-kali membahasmu
Kak, ada huruf-huruf bersembunyi di rumah kedua
Ada gambar-gambar bercerita pada mereka
Ada simponi alam bertanya-tanya
Kak, kakak, kakak.. Apa kabar?
Masihkah kamu terbersit rindu
pada kepolosan adik kecilmu
pada tawa tanpa pretensi
pada tangis yang katamu cengeng
pada keluh yang katamu manja
pada kata-kata yang katamu ‘geje’
pada suara seraknya
juga pada kicau rindunya
Kak,
Adik kecilmu rindu pada choki-choki yang kauselipkan di kotak pensil
pada diammu yang menenangkan tangisnya
pada gambar-gambar yang kaukirim
pada telingamu yang mendengar keluhnya
pada matamu yang meneduhkan jiwanya
pada lidahmu yang mengurai cerita
pada hatimu yang tertaut pada-Nya
Kak,
Pernahkah kau bertanya pula?
Tentang adikmu yang belajar mendewasa
Tentang adikmu yang belajar menulis nonfiksi
Tentang adikmu yang terus mengurai benang impian.
Kak,
Kudengar kau makin mengudara
Langit mana lagi yang kaujejali?
Kak,
Masihkah kau ingin pulang?
Adikmu masih menunggu.
Rumah
13 Juni 2013
23.41
Untuk Kakak yang amat dirindui adiknya.
Surat (Terakhir) untuk Bulan

Jatuh. Terbangun. Jatuh. Patah. Jatuh lagi. Bangkit lagi. Patah. Menjadi perca. Lalu remuk. Bangkit. Jatuh lagi. Proses yang malam ini ingin kuberhentikan dengan titik keberdirianku melawan segala jenak-jenak rindu dan rasa takut kehilangan, untuk kembali pada titah-Nya. Semoga tak ada jatuh lagi tanpa tangan yang siap memberdirikan, mengajak bersisihan menuju cinta-Nya. Aku takut. Takut sekali. Pada-Nya.
Maaf atas segala rasa yang pernah begitu berlebihan, atas segala rindu bertumpuk yang pernah dikirim angin, atas segala sakit yang sempat kita rasa, atas air mata tak tertahan, atas segala huruf yang pernah terangkai begitu saja, atas jatuh dan bangkit yang berseling membersamaiku, atas amarah dan benci yang aku tak berhak melakukannya. Semoga Sang Maghfiru memberikan ampunan-Nya padaku. Juga padamu. Bersyukurlah, rindu tak sempat memberdirikan kita di koordinat bernama pertemuan. Mungkin, itulah bentuk penjagaan-Nya. Continue reading “Surat (Terakhir) untuk Bulan”