Rasanya, baru kemarin aku mempersembahkan rindu melalui tulisan ini untukmu, Ibu. Rindu itu hadiahku untuk ulang tahunmu yang ke-43. Aku sakit hari itu. Seminggu kemudian Abah menjemputku, pulang. Sudah setahun. Cepat sekali waktu berlalu, Ibu. Hari ini, masih dengan rindu yang sangat membuncah, aku menangis. Usiamu sudah 44.
Masih rindu sebagai kado untuk usiamu yang resmi bertambah hari ini. Kukirimkan rindu itu dalam video berdurasi 1 menit lebih 1 detik. Kukirim via whatsapp. Hanya sebait doa juga pancaran wajah sulungmu yang penuh rindu, yang menurutmu masih saja seperti anak kecilmu. Biarlah, Ibu. Ibu, aku lebih terharu lagi menerima video kiriman balik dari Adik-adik di rumah. Kami memberimu surprise. Hei, bukankah di keluarga kami tidak ada tradisi surprise ulang tahun? Iya, kami sengaja, Ibu. Sekali-kali membuatmu terkejut. Membuatmu terharu. Sukses, engkau menangis. Adik-adik juga. Aku juga. Walaupun Bandung-Pati terbentang ratusan ribu meter. Melihat senyummu, juga suaramu di telepon yang bercampur kesal–merasa kami kerjain–juga haru.
Semoga waktu segera mengizinkanku pulang, untuk sekadar memelukmu, atau bergelayut manja di pundakmu. Terima kasih untuk doamu, Ibu.
Ulang tahun memang bukan segalanya, tetapi ia, sering kali, menjadi momen yang tepat untuk membahagiakan orang yang kita sayang. Meski aku tahu, Ibu, engkau bisa saja berulang tahun setiap hari, karena engkau bahagia setiap hari.
Salam rindu amat sangat,
Anakmu yang tengah mencoba menjalani hidup di sebuah ruang yang kuberi nama “Pojok Biru 3”
17 Februari 2013