Uncategorized

Sophismata, Novel Unik Bicara Politik (Sebuah Analisis)

Sophismata. Aku mendapati buku ini pertama kali pada tahun 2017, ketika seorang teman di instagram merekomendasikan buku ini padaku. Wah, dari judulnya saja sudah mengusik rasa ingin tahuku. Istilahnya cukup unik dan membuat penasaran untuk membaca lebih dalam lagi. Menurut penulis, Alanda Kariza, sophismata adalah sebuah istilah di dunia filsafat, berarti kalimat yang menunjukkan bagaimana nilai kebenaran bisa jadi sulit untuk ditentukan karena bersifat ambigu dan membuat kita bertanya-tanya. Judul ini menurutku cukup untuk menggambarkan keseluruhan isi buku yang bercerita tentang politik, passion, peran perempuan, yang memiliki banyak sisi kebenaran dari masing-masing sudut pandang tokoh.

Secara garis besar, novel ini berlatar tema politik yang didalamnya menceritakan kegalauan penulis dalam menghadapi masa quarter life crisis, terkait dengan pekerjaannya, passion, dan tentu saja percintaan. Tema politik digambarkan melalui pekerjaan para tokoh di dalamnya. Menurutku, penulis berhasil mengangkat tema politik dengan apik, penyajian yang ringan dengan tema berat membuat pembaca jadi enjoy dan tidak terasa ikut belajar tentang politik.

Premis dari novel ini, menceritakan tentang Sigi, seorang perempuan yang tidak suka politik, sudah tiga tahun bekerja sebagai staf administrasi anggota DPR, ingin bisa dipromosikan menjadi tenaga ahli, tapi semakin hari ia justru dihadapkan dengan intrik politik di dunia kerja yang baginya menggelikan. Premis yang cukup menarik karena menurutku masih jarang topik politik diangkat menjadi kisah fiksi nan seru untuk dinikmati. Penulis sepertinya melakukan riset yang sangat detail sehingga terbentuk premis ini.

Sebagaimana premisnya, novel ini bercerita tentang Sigi sebagai tokoh utama, didukung oleh Timur dan Johar sebagai karakter pendukung yang punya andil cukup penting, serta beberapa tokoh lain yang membuat cerita ini menjadi utuh. Adapun beberapa tokoh serta karakter dalam novel ini adalah sebagai berikut:

  • Sigi. Seorang perempuan 25 tahun lulusan S1 administrasi negara, sangat memegang teguh prinsipnya, cerdas, observan yang baik, tidak mudah menyerah, negosiator yang pintar, dan mandiri. Sigi suka membuat kue, baginya membuat kue adalah refreshing dari penatnya pekerjaannya. Sigi menyukai warna hitam dan putih. Ia juga seorang yang detail dan rapi.
  • Timur. Lelaki tinggi bermata sipit dengan tatto di lengannya. Ia hobi mengenakan kemeja kotak-kotak. Usianya di atas Sigi, kakak kelasnya ketika SMA, tapi sudah lama tidak bertemu. Timur lelaki yang cerdas, ambisius, juga pandai berkomunikasi. Ia juga seorang pemimpin yang baik dan ingin mendirikan partai. Ia sangat suka membaca buku, khususnya sejarah dan politik, sehingga wawasannya luas. Karakter Timur sangat membantu Sigi untuk menemukan solusi dari konflik-konflik yang dihadapinya. Ia juga membuat Sigi memiliki banyak diskusi-diskusi penting yang menjembatani penulis dalam menyampaikan pesan dari cerita.
  • Johar. Seorang politikus, anggota DPR dan salah satu partai besar di Indonesia. Ia adalah atasan Sigi di kantor. Karakternya tegas, ambisius, juga cerdik dengan intrik-intriknya. Johar memiliki peran cukup penting terhadap konflik yang dialami Sigi.
  • Gilbert. Seorang teman kantor Sigi yang cukup cerdas. Karakternya tidak terlalu detail dijelaskan, tapi ia memiliki peran penting yang akhirnya membuat Sigi memiliki keputusan yang diambil terkait pekerjaannya.
  • Catra. Ia juga staf tenaga ahli yang menjadi teman kantor Sigi. Karakternya tidak diperlihatkan sebagai detail, tapi ia juga berperan penting membentuk konflik pada tokoh utama, Sigi, dengan karakternya yang masih konservatif, meremehkan pekerjaan Sigi, dan juga memandang lemah perempuan.
  • Megara. Perempuan yang dikisahkan berusia sekitar 21 tahun dan sedang jatuh cinta pada Johar. Karakter ini mendukung konflik yang dialami Sigi terkait pekerjaannya.
  • Ayah dan Ibu Sigi. Dua karakter yang cukup untuk menjelaskan betapa Sigi adalah anak yang teguh prinsipnya, terbukti ketika ayah dan ibunya menyuruhnya berhenti kerja dan S2, Sigi tetap memilih pekerjaannya.
  • Pak Cipta, Bu Yenita, Sarah, merupakan karakter pendukung yang mempunyai peran penting dalam penyelesaian konflik tokoh utama. Karakternya tidak dijelaskan detail, yang jelas mereka adalah bagian dari anggota staf kepresidenan, diketuai oleh Cipta.

Salah satu hal yang aku pelajari dari novel ini adalah bagaimana penulis menggambarkan karakter setiap tokoh dengan detail, mulai kebiasaannya, cara berbicaranya, pakaian yang dikenakan, dan lain sebagainya, tapi dengan tidak membosankan, dan bisa membuat pembaca berimajinasi tentang si tokoh. Kadang dimasukkan secara eksplisit di narasi, kadang bisa terbaca dari percakapan antar tokoh. Antar tokohnya pun saling berkelindan menjelaskan karakter tokoh utama, Sigi. Lalu, dengan premis dan karakter ini, konflik apa sih yang ditawarkan penulis?

Berlatar sebagian besar di Jakarta sekitar tahun 2017, konflik bermula ketika Sigi mengajukan permintaan kepada Johar, untuk mempromosikan dirinya dari staf administrasi biasa menjadi tenaga ahli. Tapi Sigi tidak pernah mendapat kesempatan itu. Alasannya soal peraturan, karena Sigi belum S2. Tapi Sigi tidak menyerah, ia menuruti apapun yang diperintahkan atasannya. Dari situlah, ia bertemu Timur, teman lamanya semasa SMA. Pertemuan mereka mengubah banyak hal dalam hidup Sigi. Tapi juga menambah bumbu percintaan sebagai konflik dari kisah ini. Konflik memuncak ketika Sigi sudah mengikuti apa yang dimau atasannya tetapi ia tak kunjung mendapat yang dimau. Dalam penyelesaian konflik yang dialami Sigi, Timur memberikan banyak pandangan dalam setiap diskusi dengan Sigi. Hingga di akhir ceritanya, Sigi akhirnya mendapat jawaban dari banyak pertanyaannya. Kebutuhan tokoh utama terpenuhi di ending-nya. Konflik tersebut disajikan dengan alur maju mundur, dengan sedikit flashback di beberapa bagian.

Menurutku, konflik yang diangkat penulis ini cukup unik dan pasti akan relate dengan kehidupan anak usia 25an yang tengah menghadapi fase quarter life crisis. Banyak jawaban yang bisa didapat dari cerita ini. Tapi, mungkin akan lebih baik jika konflik ditulis tidak dengan ritme yang melulu lambat. Beberapa bagian dibuat menegangkan dengan ritme cepat, sepertinya akan membuat cerita semakin seru. Misalnya, pada masalah percintaan, harusnya bisa diceritakan lagi aura jatuh cintanya, flashback-nya bisa lebih banyak, pertentangan antar keduanya bisa ditambah, dialog lebih mendalam, jadi chemistry antara dua tokohnya lebih terasa. Begitupun tentang intrik politik yang disajikan, rasanya masih kurang mendalam dan terlalu sederhana. Aku berharap masalah yang dihadapi Sigi lebih kompleks lagi sehingga membuat pembaca naik turun ketika membacanya. Apalagi point of view yang digunakan adalah sudut pandang ketiga, harusnya dengan posisi penulis yang serba tahu, penulis bisa menyajikan konflik yang lebih kompleks lagi. Walau begitu, dari novel ini, aku juga belajar bagaimana membuat konflik yang sederhana tapi memiliki pesan yang mendalam.

Hal lain yang menarik dan dapat dipelajari dari novel ini, adalah cara penulis mendeskripsikan latar tempat. Mulai dari detail kondisinya, hingga sejarahnya. Seperti saat penulis menjelaskan latar Gedung Bina Graha, kantor staf kepresidenan.

“Sigi duduk dengan tenang, mengamati orang berlalu lalang seolah dia tak sedang duduk disana. Bertahun-tahun lalu, ada banyak rumoh soal hal-hal mistis di Gedung Bina Graha. Itu karena gedung yang dijadikan kantor oleh Presiden Soeharto itu kehilangan fungsinya di era reformasi…” (halaman 79)

Kalimat di atas menunjukkan tempat dan suasana yang dialami Sigi ketika sendirian menunggu Cipta, ketua Staf Kepresidenan di kantornya. Penjelasan penulis cukup untuk menggambarkan betapa Sigi mulai bosan dan sepi. Penulis menggunakan teknik show don’t tell dalam mendeskripsikan latar. Teknik ini sangat bisa diadopsi dalam penulisan novel.

Selain di Jakarta, di Gedung DPR dan Gedung Bina Graha, penulis juga menyebutkan Bandung dan Jogja sebagai latar tempat lain yang mendukung cerita ini. Menurutku, semua disajikan dengan baik oleh penulis dan tidak membosankan. Dialog-dialog yang ada, penggunaan sapaan, juga sangat logis latar ceritanya.

Aku juga suka cara penulis memilih diksi yang tidak familiar dan membuat kita berpikir, seperti misoginis, atau nama-nama kue, yang sangat mendukung gambaran karakter tokoh. Juga buku-buku bacaan yang diulas singkat. Atau ketika penulis menggambarkan sesuatu dengan analogi dunia baking yang disukai Sigi. Tampak penulis melakukan riset dan memiliki wawasan yang luas dalam menulis novel ini.

Satu lagi, penulis juga banyak melakukan kritik sosial lewat cerita ini. Mulai dari bahasan tentang perempuan yang sering diremehkan di pekerjaannya, tidak memiliki posisi setara, dicibir jika sekolah tinggi dan memiliki karir bagus, atau diburu-buru untuk cepat menikah. Soal politik yang digambarkan dari dua sisi, juga soal passion, dengan pandangan yang berbeda dari dua tokoh, membuat novel ini kaya akan cara pandang dan membuat pembaca merasakan sisi ambigu dari dua hal. Persis seperti judulnya, sophismata.

Begitulah, dapat disimpulkan novel ‘Sophismata’ adalah bacaan ringan dengan tema yang cukup berat. Ceritanya cukup bagus, konfliknya unik, mengalir, relatable, dan mudah dimengerti. Sayangnya, konflik yang kurang kompleks dengan ritme yang terus menerus lambat, membuat novel ini kurang masuk ke dalam emosi pembaca. Walaupun begitu, cara penulis menyajikan tema politik di novel ini, cukup untuk membuatku penasaran dengan dunia politik lebih jauh lagi. Novel ini cocok dibaca untuk mengisi waktu senggang.

“Semua akan baik-baik saja, Gi. Semua hal selalu berakhir baik-baik saja. Kalau belum baik, berarti belum akhirnya.” (Timur, halaman 166).

bagaimana menurutmu? :)