Halo, masih ada pengunjungkah di blog ini? Hehehe. Himsa kembali sebagai ibu yg bentar lagi punya anak tiga. Mumpung belum brojol, dan rasanya aku pun rindu banget nulis, jadi mari kembali bercerita.
Hmm, sebenarnya aku udah lama mau nulis topik ini. Tapi ya banyak riweh ini itu akhirnya nggak jadi (baca: malas aja bilang wkwkw). Lalu habis ig live sama Teh Beb dan Teh Irma tentang passion yang stuck dan ke-trigger dengan explore ig di bawah ini, teringatlah aku tentang cerita yg udah lama ingin kubagikan ini.

Astaghfirullah, ngeri banget ya mulut netizen. Aku nggak kebayang kalau jadi Shandy Aulia kayaknya udah naik sasak kalau kata orang Medan. Dia siapa bisa bilang begitu? Aku yakin sekelas Shandy Aulia pasti udah ke dokter spesialis, udah ngecek segala sesuatunya, nggak mungkin anaknya dibiarin gitu aja kan? Tapi ya pada akhirnya kita nggak akan bisa membungkam mulut semua orang. Karena anaknya di-expose, ya mau nggak mau, komentar pasti berdatangan. Semoga kita nggak masuk golongan netizen julid yang komentarnya begitu yaaaa..
Komentar netizen julid itu mengingatkanku pada perjuanganku menaikkan BB Kafin sampai akhirnya berdamai dengan keadaan. Fiuh proses yang cukup panjang dan menyita waktu serta emosi. Ya, Kafin, anak keduaku yang saat ini usianya 3 tahun 2 bulan, mungkin bisa dibilang mungil. Nggak gede kayak anak-anak seumurannya. Tapi percayalah, BB dia yang sekarang itu udah jauh lebih mending dari dulu dulu.
Dari bayi, Kafin nggak pernah gemuk. Saat bayi-bayi tumbuh gemoy, dia ya segitu-gitu aja naiknya. Aku sampai stress. Waktu umur dia 3 bulan, aku sewa pompa asi elektrik, kukasih ASI direct dari payudara tapi juga kutambah botol. Tapi gagal total. Kafin nggak mau minum ASI dari dot. Jadi ASI yang kuperah banyak terbuang sia-sia. Malah yg ada anaknya ikut stress kayaknya waktu itu. Saat dia mulai MPASI, aku kejar berbagai booster BB. Alhamdulillah Kafin nggak ada masalah makan dari awal. Apa aja dia mau. Bahkan anaknya ga betah lapar. Kalau lapar, dia segera kasih tanda. Pokoknya nggak bisa telat makan. Ada sih kadang-kadang GTM, tapi masih batas wajar. Malah urusan makan, si kakaknya, Naya, jauh lebih susah. Tapi BB Naya jauh lebih baik dari Kafin. Kadang kalau lihat KMS Naya dan Kafin, aku bingung sendiri. Naya itu susah makan, tapi BB masih oke, sementara Kafin, alhamdulillah nggak ada masalah makan, tapi kenapa susaaaah sekali naik BB nya. Memang sih, Kafin lebih aktif di berbagai hal. Dia udah jalan di usia 9 bulan. Di usia itu juga dia udah bisa panggil “mama”. Secara perkembangan, Kafin memang cukup pesat, tapi secara pertumbuhan, entahlah. Sampai akhirnya aku capek bandingin dua anakku sendiri. Yeee salah siapa dibandingin kan?
Sekitar usia 10 bulan, kubawa Kafin ke dokter anak spesialis gizi. Dokternya sempat khawatir kalau Kafin mengalami sakit semacam mikrosefalus akibat tokso yang sempat mampir ketika saya hamil dia dulu. Ini ceritanya. Lalu diceklah semua tumbuh kembangnya. Semuanya alhamdulillah bagus. Malah perkembangannya melebihi anak seusianya. Lingkar kepala pun masih okay tapi memang bukan yang besar. Tapi badannya kurus. Sepulang dari dokter, kami membawa oleh-oleh berupa jadwal makan dan minum susu serta makanan apa aja yang kudu dimakan untuk booster BBnya. Ya, akhirnya Kafin minum susu formula. Tapi qadarullah ya nggak cocok terus. Makin minum susu, malah ada aja, ya diare lah, ya apalah. Akhirnya kuhentikan. Di usia setahun, dia sempat kukasih Pediasure untuk naikin BB, tapi karena nggak ngaruh banyak, dan ga baik buat kantong emaknya, akhirnya kuhentikan. Selain itu, minum pediasure bikin Kafin kenyang dan males makan. Wis lah, pokoknya ikhtiyar segala cara.
Di usia setahun lewat dikit gitu, kalau nggak salah bulan Mei 2019, Kafin dirawat inap karena diare. Udah mah kurus, BB makin anjlok pula karena diare itu. Tambah stress lah aku. Kafin ditangani sama dokter spesialis anak yang berbeda dengan yang sebelumnya. Dokter yg ini lebih santai, humoris, tapi juga detail. Kafin sempat dicek darahnya. Alhamdulillah hasilnya baik. Bahkan di saat sakit itupun, Kafin masih lahap makan, sehingga recovery-nya pun cepat.
Saat mau pulang dari rumah sakit, aku curhat deh ke dokternya.
“Dok, kenapa sih anak saya yg ini kok kurus? Kok susah banget naikin BBnya?” Tanyaku dengan penuh stress tentunya.
Dokternya malah ketawa, “anak ibu sehat, gapapa kok. Itu diare karena infeksi bakteri, mungkin dari mainan. Ibu jangan kebanyakan lihat anak tetangga yaaa, jadi gitu deh banding-bandingin sendiri. Anak Ibu aktif. Kalau anak sakit nggak gitu, Bu.” Kata dokter itu tenang.
Aku berusaha yaudahlah tapi ya masih kepikiran. Selanjutnya alhamdulillah Kafin sehat. Makannya lahap. Dia bukan tipe picky eater. Semua jenis makanan dari ikan, daging, ayam, sayur, buah, semua dilahapnya. GTM kadang ada, tapi masih wajar. Dan BB nya, tentu saja masih irit sekali naiknya. Tapi aku berusaha untuk menerima. Yaudahlah gapapa mungkin anaknya emang pawakannya segitu, hiburku pada diri sendiri. Ibuku juga sering bilang, “Vi, anak pinter iku ga tergantung kurus atau gemuk, dia aktif sehat ceria gitu kok. Makannya juga nyenengin. Nggak usah kepikiran aneh-aneh.”
Tapiiii… ya namanya Novi Ahimsa si Overthinking. Ada aja kepikiran terus. Apalagi tiap baca instagram dokter-dokter anak tentang stunting, silent disease, dan segala macem. Ya auto panik campur penasaran dong. Di usia Kafin menjelang dua tahun, aku ngajak suami buat ke dokter anak lagi. Aku mau screening lengkap kondisi kesehatan Kafin. Dan, apa yang terjadi, Pemirsa? Ditolak mentah-mentah sama suamiku. Aku dimarahin dong. Menurut dia, Kafin sehat, aktif, ceria, nggak masalah kalau kecil. Sementara aku ngotot bisa jadi itu ada silent disease atau apa yang menghambat pertumbuhan dia selama ini. Jadi harus dicek. Perdebatan kami diakhiri dengan munculnya covid di bulan Maret 2020. Yang akhirnya membuatku mengurungkan niat untuk pergi ke rumah sakit kalau nggak urgent banget. Alhamdulillah Kafin juga secara kasat mata memang sehat. Wallahu alam dengan kondisi di dalam tubuhnya ya.
Lama-lama aku terbiasa dengan badan mungil Kafin. Mungil gitu dia kuat dorong galon berat, ngangkat berat, main-main aktif, bicara pun lancar. Makan pun menyenangkan. Pokoknya masyaAllah alhamdulillah perkembangannya bagus. Jadi aku fokus mensyukuri yang ada saja. Udahlah nggak mau lihat lagi akun-akun tentang tumbang anak, karena bikin galau berat wkwkw. Entah denial atau udah nerima, bedanya tipis. Yang jelas, dalam hati masih mengganjal terus karena khawatir ada penyakit tidak terlihat di tubuh Kafin. Tapi yaaa, kutepis aja.
Sampai akhirnya, kegalauanku memuncak di bulan Maret 2021. Sebulan menjelang ultah Kafin yang ke-3. Karena BB Kafin masih ya segitulah, ga usah tanya ya, nanti aku sedih wkwkw. Lalu aku curhat sama beberapa temen. Katanya, anaknya ada yang mengalami hal serupa, dan ketika dicek, ternyata bener ada sakit TB, yang gejalanya hampir tidak terlihat. Akhirnya anaknya mengikuti pengobatan dan alhamdulillah setelahnya BB nya membaik. Dari situ, aku makin semangat untuk kembali membawa Kafin ke dokter spesialis anak. Tentu saja kembali berantem sama suami hahaha. Doi tetep nggak mau anaknya dites segala macem padahal sehat. Tapi setelah nego alot dan dengan bantuan Bumer buat meyakinkan suami, akhirnya doi mau juga nganter ke rumah sakit untuk screening kondisi kesehatan Kafin. Kali ini, aku sengaja ke dokter anak yang berbeda lagi, karena aku mau cari pandangan yang berbeda juga.
Alhamdulillah dapet dokter yang baik dan sabar banget. Nggak nakut-nakutin, tapi juga bijaksana dan memberi banyak penjelasan tentang tumbuh kembang anak. Kafin kembali dicek tumbangnya. Memang, secara pertumbuhan, Kafin grafiknya tidak bagus. Tapi secara perkembangan semua baik-baik saja. Dokter pun membenarkan pilihanku untuk mengecek semua kondisinya biar tahu ada masalah apa. Karena makan banyak tapi BB irit naik, itu sudah cukup indikasi kuat perlunya dilakukan uji screening menyeluruh.
Woah aku bangga dong, merasa menang dari suami wkwkwkw.
Kafin dites lengkap mulai darah, rontgen, urine, feses, dan mantoux. Sungguh drama sekali waktu itu bolak balik RS, nampung pipisnya, nungguin dia pup untuk ambil sampelnya, belum lagi nangis-nangisnya waktu diambil darah. Papanya udah nggak tega dan melototin aku. Lha gimana, aku sendiri nggak berani megangin waktu Kafin diambil darah, karena aku lagi hamil kan, takut ditendangin Kafin. Kecil-kecil tendangannya amvun. Ya terpaksa papanya lah yang nemenin, yang sebenarnya dia juga nggak tega sih. Ya pokoknya, setelah banyak drama itu, alhamdulillah semua sampel terkumpul dan hasilnya akan dikabarkan besoknya.
Asli, aku deg-degan parah. Memang, saat itu aku udah siapin mental. Kalaupun Kafin sakit, ya tidak apa, aku siap menerima dan menjalani pengobatannya. Aku yakin aku akan lebih menyesal kalau nggak melakukan ini. Tapi hati kecilku juga berdoa semoga semua hasilnya baik. Dan ketika dokter membaca hasilnya… Beliau hanya geleng-geleng kepala.
“Anak Ibu sehat semua. Nggak ada masalah apapun. Paru-paru bersih, screening TB negatif, tidak ada infeksi di feses maupun urine. Kondisi darahnya juga semua bagus.” Kata dokter itu tenang.
Aku menghela napas lega, tapi juga bingung. “Lalu apa yang jadi penyebab BB-nya susah naik, Dok?”
Dokter itu lalu menyebutkan penyebab-penyebab anak mengalami susah naik berat badan. Sayangnya aku lupa ya gaes maafkan. Saat itu otakku lagi hang. Yang aku inget itu ada 5, kusebutkan yang aku inget aja ya maafkan.
1. Masalah endokrin (ini ditandai dg terhambatnya perkembangan juga). Kafin nggak.
2. Ada kelainan organ sejak lahir. Kafin nggak.
3. Bayi lahir prematur atau BB Lahir rendah. Kafin juga nggak. Kafin lahir di 39 minggu dg BB 3kg.
4. Ada penyakit yang tidak terlihat seperti TB, infeksi saluran kencing, kurang zat besi, dsb. Ini harus dibuktikan dengan tes screening. Dan Kafin juga udah dites ternyata nggak.
5. Duh aku lupa satu lagi apa pokoknya itu lah yaa. Apa ada lagi juga lupa. Apa asupan gizi kurang apa gimana gitu, tapi Kafin juga nggak masuk kriteria ini karena dia makannya termasuk cukup.
Kata dokternya, Kafin masuk di kategori terakhir. Apa itu? Gift. Iyes, ya itulah pemberian Allah. Manusia udah nggak bisa apa-apa. Ya emang badannya segitu aja mau diapain lagi. Tapi kata dokternya, mungkin dia akan menjadi besar nanti ada waktunya sendiri, gizi yang masuk sekarang larinya untuk aktivitas dia. Ya pokoknya sekarang dinikmati aja momen dia balita. Tetap kasih makan dan gizi cukup.
Oh ya, soal toksonya, juga nggak ada hubungannya. Karena menurut dokter nggak ada gejala yang mengarah ke sana juga. Alhamdulillah lingkar kepala Kafin masih oke, dan semua organ berfungsi baik. Jadi soal tokso udah finish ga ada hubungannya gitu katanya.
Tapi ya bukan Himsa kalau nggak ngeyel, wkwkwkw. Aku masih ngerayu dokternya supaya kasih vitamin atau apa gitu buat booster BB Kafin. Dokternya ketawa sih, soalnya aku maksa wkwkw. Tapi akhirnya dikasih zat besi sama inlacta. Ya walaupun ga ada masalah, tapi mungkin dengan begitu memberi pengaruh. Namanya juga emak-emak lagi usaha hahaha.
Akhirnya kami pulang. Suamiku tentu saja kali ini merasa menang. Dia senyum-senyum aja seolah bilang, “tuh kan anaknya sehat. Mamanya aja yang lebay.”
Tapi yaudahlah. At least aku lega dan bersyukur karena tahu Kafin sehat. Jadi penerimaanku sekarang sudah lebih utuh. Aku merasa sudah usaha, sudah membuktikan secara ilmiah, bukan sekadar kasat mata, bahwa Kafin memang sehat.
Alhamdulillah juga BB nya membaik meskipun belum ideal untuk usia dia. Tapi lihat dia makan lahap dan ga pilih-pilih makanan aja udah seneng banget. Alhamdulillah. Ternyata benar kok, nggak semua anak kurus itu tidak sehat. Tapii, daripada kita khawatir dan menerka-nerka, menurutku screening itu tetap perlu. Setidaknya, kalau ternyata hasilnya ada sakit, kita jadi tahu penanganannya gimana. Tapi, kalaupun hasilnya sehat, ya alhamdulillah lega banget kan jadinya.
So, hikmahnya adalah… Ikhtiyarlah semaksimal mungkin. Nggak usah ribetin gimana pendapat orang. Kita sebagai Ibu pasti melakukan apapun yang terbaik untuk anaknya, semampu kita. Mau hasilnya anak itu kurus atau gemuk, ya udah itu di luar kuasa kita. Seenggaknya kita tahu, anak kita sehat. Kalaupun sakit, kita tahu penanganannya. Tetep lakukan yg terbaik yang kita bisa.
Sekarang alhamdulillah aku udah sangat berdamai dengan kondisi Kafin. Apalagi sebentar lagi lahiran anak ke-3. Semoga anak ke-3 gemoy yaaa. Pingin gitu punya anak pipinya tumveh2. Hahahaha apaan sih, Himsa? Plak! Yg penting anak sehat udah alhamdulillaah. Apalagi anak ke-3 hadir di tengah ujian, dan mau lahir saat pindahan. Next, aku cerita soal pindahan yaaa. See you di next post. Semoga ceritaku bermanfaat.
Pekanbaru,
26 Juni 2021
7. 32 WIB
PS: yang nanya biaya screening lengkap, aku tes di RS Columbia Medan itu habis sekitar 5 juta. Itu udah cek darah lengkap, urine lengkap, feses, mantoux, dan rontgen paru ya. Sebenarnya ada tes lagi, yaitu tes cairan lambung. Tapi aku ga tega karena itu anaknya harus dimasukin selang NGT dari mulutnya. Dan menurut dokter juga ga perlu banget karena tes yg di atas udah menjawab harusnya. Dan lagi pula takut anaknya trauma malah jd males makan huhu. Oh ya, aku juga pernah baca, nggak semua kasus anak BB nya ga naik itu harus langsung dites itu semua. Baiknya kita tetap diskusi dengan dokter dulu, nanti akan dievaluasi pola makannya, gimana kandungan gizi makanannya selama ini, dan lain-lain. Apalagi biaya tesnya juga lumayan kan. Kadang asuransi nggak mau kover kalau gejalanya ga ada soalnya. Aku kemarin alhamdulillah masih dikover perusahaan suami. So, tetap ikhtiyar tapi juga jangan ngoyo. Konsultasikan semuanya dengan ahlinya. Semangat buibu pejuang BB!