Cerita dan Celoteh

(Bukan) Ulang Tahun Online

adik-kakak“Mamaaaaa. Ada Dek Nadaaa.” Ayin tiba-tiba berhenti menumpuk buku-buku komik yang ia susun menjadi rumah-rumahan. Ia cepat berlari keluar toko. Lupa pula memakai sandalnya. Padahal baru kemarin mamanya memberikannya sepasang sandal berwarna biru. Kemarin ia kekeuh tidak mau mencopot sandal itu. Lihatlah, demi seseorang yang ia panggil “Dek Nada”, laki-laki kecil berusia empat tahun itu melupakan semua keasyikannya. Beberapa pembeli yang tengah memilih buku bahkan sampai menoleh kaget mendegar teriakan Ayin. Diani, salah seorang kasir yang dari tadi bersama Ayin juga kaget. Ia malah hampir mengejar Ayin, meninggalkan mesin penghitung, namun tercegah oleh lirikan seorang pembeli wanita paruh baya bergaya modis yang tengah membayar buku yang dibeli. Diani hanya melirik Ayin. Kaget. Takut Ayin lari ke jalan raya.

Apalagi Farikha. Ia kaget bukan main. Mendengar kata “Dek Nada” berarti akan ada pula seorang perempuan bernama Leni, sahabat lamanya. Temannya menggila, menangis, tertawa, bahkan bermimpi. Bersama Leni pula, toko buku “Tuman” dirintis dan sekarang sudah melampaui impiannya. Toko buku “Tuman” kini menjadi toko buku favorit di Bogor. Ia cepat mematikan kompornya dan membenarkan tali jilbabnya. Menarik roknya sedikit ke atas agar larinya tambah cepat. Diani tampak bingung menyaksikan mama dan anak berlarian.

“Buruan, Mbak. Jangan ngelamun.” Ibu-ibu itu akhirnya protes juga.

Diani kembali fokus. Ayin sudah sampai terlebih dahulu. Ia menggandeng gadis kecil berusia 3 tahun yang rambutnya dikuncir dua.

“Dek Nada, Kakak tadi bikin rumah berang-berang lho.” Ayin menyebut huruf ‘r’ dengan sedikit terpaksa, sekilas masih terdengar “belang-belang”.

Nada hanya manggut-manggut.

“Kamu tahu belang-belang?”

Kali ini Nada menggeleng.

“Ntar aku liatin gambarnya ya? Kemarin Abi bawa banyak foto berang-berang.”

Sementara dua anak kecil larut dalam bahasa mereka, dua perempuan berjilbab berpelukan. Leni dan Farikha.

“Apa kabar Surabaya? Tuman sukses kan di sana?”

Leni malah menangis, ia melepas kacamatanya. Ada rindu membuncah yang ia lampiaskan pada sahabatnya itu.

“Kamu sekarang tambah cantik yah? Udah nggak pernah mengalami disonansi kognitif lagi kan?”

Farikha berpikir sebentar demi mengingat istilah “disonansi kognitif”. Istilah untuk merepresentasikan kata “galau” yang terbentuk 6 tahun lalu ketika mereka masih sama-sama kuliah. Farikha tersenyum. Belum sempat ia menjawab, Leni sudah menyerobot pertanyaan lagi.

“Mana Razif? Dia udah nggak bikin kamu mual sampai nggak doyan makan lagi kan?”

“Leniiii. Jangan dibahas lagi. Itu masa-masa konyol. Haha. Razif di Jakarta. Mungkin lusa dia kembali ke Bogor. Ada urusan yang harus diselesaikan di sana. Kamu masuk dulu ayooo.”

“Masih aja sibuk dia ya?”

Mereka pun mulai berjalan. Leni mengunci mobilnya. Wedges-nya yang tinggi membuatnya berjalan lebih pelan.

“Kamu itu emang nggak berubah. Masih aja jadi Miss Rempong. Haha. Kok sendirian? Mana Mas Ken?”

“Emang elu nggak bisa bawa mobil. Haha. Dia lagi main ke temen lamanya. Ntar ke sini kok.”

“Enak aja, gue udah bisa bawa mobil tau. Diajarin Razif sampai kapok dia. Hehe. Tau sendiri kan gimana hebohnya Farikha?”

“Eh, bentar, nggak ada kucing kan?” Leni tiba-tiba berhenti ketika hampir sampai ke pintu toko.

Farikha meringis, “ada banyak. Razif kan suka kucing.  Ada yang namanya Leni. Warnanya kembang telon. Dia kucing paling rempong, kayak kamu. Makan aja harus pakai tupperware.

“Ha? Nggak jadi masuk nih.”

Farikha tertawa, mendadak mereka lupa bahwa mereka bukan lagi anak kuliahan. Nada dan Ayin, dua anak mereka, bahkan sekarang sudah bermain di bawah kasir. Di kolong meja kasir lebih tepatnya. Mereka menumpuk komik-komik menjadi suatu replika impian mereka. Ayin selalu suka membuat menara tinggi dari tumpukan komik dan ia akan tertawa puas ketika menara tersebut ambruk di puncak tertinggi ia menatanya. Ayin suka, hanya Diani yang kadang menahan nafas lebih lama karena harus membereskan buku-buku itu berkali-kali. Nada tampak nurut mengikuti gerak tangan Ayin.

Leni dan Farikha masuk ke toko. Di lorong sebelah kanan, terdapat sebuah pintu menuju ruangan kecil yang di dalamnya berpetak lagi. Ada ruang tamu, dapur, kamar tidur, dan kamar mandi. Di ujung ruangan, terdapat sebuah meja kerja dengan sofa berwarna biru. Sebuah mawar biru bertengger manis di sana. Ruangan itu ruangan Farikha.  Tempat ia menulis, atau sekadar beristirahat sambil mengontrol toko bukunya. Tentu saja sambil mengatur jadwal Razif. Sejak menikah, ia resmi diangkat menjadi manajer sekaligus sekretaris pribadi suaminya. Semua jadwal Razif tertata rapi di file Farikha. Ah, pekerjaan itu, sejatinya adalah cita-cita karir tertinggi perempuan penggemar biru itu.

“Sudah kubayangkan ruanganmu akan seperti ini, Kha.” kata Leni berkomentar.

“Kenapa?”

“Biru semua. Dan ada akuarium ikan cupang di dalamnya.” Leni melirik sebuah akuarium berbentuk oval berisi sebuah ikan cupang berwarna biru yang tertata manis di sebelah kanan meja kerja Farikha.

“Haha. Itu masih Ipank namanya. Ipank yang dulu udah tewas. Aku nangis masa. Yang itu kado dari Razif pas buku keduaku terbit. Sekarang dia nggak perlu dimandiin, udah bisa beli alat supaya dia mandi secara otomatis. Haha.” jawab Farikha sambil menuang jus mangga di gelas.

“Dasar kamu, Kha. Gue masih sebel kalau lu bilang Ipank mandi, bingung ngebayanginnya.” Kali ini Leni berbicara sambil berjalan menuju dapur, membuka kulkas Farikha. Ia tahu pasti akan ada benda itu.

“Cari apa kamu, Len?”

“Sudah kuduga, kulkasmu isinya keju semua.”

“Kamu masih inget aja, Len. Hehe. Yuk duduk. Ntar aku buatkan roti keju ala Farikha. Pakai selai disonansi kognitif.”

Mereka tertawa.

“Nggak nyangka, udah lima tahun sejak wisuda, kita jarang ketemu ya? Dan impian-impian terlalu indah untuk diterka.”

“Iya, Len. Aku nggak nyangka banget bakal ketemu kamu seminggu lalu di acaranya Razif di Surabaya. Di sana, Ayin ketemu Nada sekali, langsung akrab aja mereka. Eh hari ini kamu tiba-tiba nongol. Ini kejutan.”

“Iya dong. Kamu lupa ini hari apa?”

Farikha bengong. Belum sempat ia menjawab pertanyaan Leni, Ayin dan Nada menghambur masuk.

“Bunda, Tak Ayin dak mau minjemin tomitnyaaaa.”

“Nggak, Mama, Bunda, tapi Dek Nada ntar nyobek. Itu kan punya Ayin. Nggak mau kalau sobek.” Ayin membela diri.

Farikha dan Leni bertatapan.

“Nada, nggak boleh nakal, Sayang. Jangan disobek.” Leni memeluk Nada, sambil menatap galak. Nada meringis, hampir menangis.

“Ayiiiin, nggak boleh pelit. Inget nggak apa kata Abi kemarin?” Farikha melirik Ayin, tangan kanannya memeluk Nada yang hampir menangis, “Dek Nada, nanti dikasih sama Mama, ya?”

Ayin merengut. Ia duduk, meminum segelas jus mangga milik Leni. Kali ini Farikha melotot. Belum selesai adegan Ayin dan Nada yang ribut soal komik, dari dalam kamar, bayi kecil menangis. Fatiha. Ayin buru-buru berlari mendekati suara tangis adiknya.

“Dek Nadaaaa, Kakak Ayin punya adek bayi lho, kamu nggak punya kan?”

Kali ini Nada melawan, “nggak mau, adek bayi suka ngompol, wek.”

Leni dan Farikha tertawa. Sungguh, semua seperti mimpi. Cerita-cerita saat mereka kuliah berputar begitu saja. Air mata yang melebur bersama hujan, tawa-tawa gila, cerita-cerita, amarah atas sakit dan penyebab sakit yang itu-itu saja, juga doa-doa mereka yang dijawab Tuhan dengan cara yang tak pernah mereka duga.

“Inget nggak, kamu jatuh terus nggak bisa jalan gara-gara nganterin makan buat aku di gedung D karena aku belum makan seharian?”

“Ah, elu juga, Kha. Inget nggak kamu nangis gara-gara aku nggak mau makan karena kita nggak punya duit buat event kita?”

“Mulai sekarang nggak boleh ada yang nggak mau makan lagi.” Tiba-tiba sebuah suara menghentikan nostalgia dua ibu muda. Farikha kenal betul suara itu. Suara seseorang yang membuatnya menangis dan tertawa dalam waktu bersamaan.

“Katanya di Jakarta sampai lusa?” Farikha protes, merasa dibohongi.

“Kan kejutan.” Kali ini Mas Ken ikut masuk.

Leni tersenyum manis, melirik Razif.

“Selamat ulang tahun, Dek.”

“Aaaa, sejak kapan Abang inget hari ulang tahunku?” Farikha mulai menangis terharu. Apalagi demi melihat sebuah kue bertabur keju bertengger manis di tangan suaminya itu.

Razif hanya memamerkan giginya, memaksa Farikha memakan kue keju itu. Leni dan Mas Ken tertawa melihat wajah merah Farikha. Ayin dan Nada berebut ingin mengambil kue itu. Fatiha diam di gendongan Leni. Sejumlah pegawai “Tuman Buku” melirik ruangan itu, ingin tahu ada apa gerangan.

“Selamat ya Farikha, setidaknya, kamu tidak mengalami ulang tahun online lagi seperti saat usiamu menginjak kepala dua. Setidaknya, dia yang membuatmu tersenyum, hari ini berada di sampingmu. Aku selalu bahagia kalau kamu tertawa kayak gitu.”

Hanya pelukan erat Farikha yang menjawab kalimat Leni. November ke sekian dengan kejutan yang berbeda bagi Farikha. Razif sebenarnya jauh lebih bahagia menyaksikan senyum itu.

“Mulai besok, toko muslimah ‘Farikha’ tidak hanya ada online, ia akan hadir menemani ‘Tuman Buku’. Bismillah, semoga dimudahkan oleh Allah.” Kata Razif tenang yang disambut dengan ekspresi kaget Farikha. Satu lagi impiannya menjadi nyata. Sekali lagi, Leni dan Mas Ken tersenyum. Ayin dan Nada berebut kue keju.

Kampus biru,

12-12-12

19.04 WHH

Antara adzan dan iqamah, semoga waktu mengamini tiap doa.

*ini cerita edisi pertemuan antara mengkhayal dan membuat mimpi terasa dekat, hehe.

Jangan lupa follow @TumanBuku dan @GamisCantiks :p

gambar

Advertisement

5 thoughts on “(Bukan) Ulang Tahun Online”

  1. semua terasa indah, terasa bahagia dan terasa dekat..
    aku pun masih menyimpan dengan rapi kayu yang bertuliskan ayah love bunda..
    yang artinya..ken love leni..
    salam kenal farikha..

bagaimana menurutmu? :)

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s